Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

***Dukung kami: Traktir ngopi! (min Rp 1.000,-)***
Laporan Donasi

UG_001

gambar

Unlucky Game

UG_001


1. Namaku, bagas

 

“Kali ini, aku harus mengalahkannya lebih cepat lagi.”

Ucapnya sambil menatap layer monitor dengan seksama. Dia saat ini tengah ingin membuat rekor terbaru di game MMORPG ini, dan mendapatkan item mytical yang sangat sulit dicari.

Tapi, konsentrasinya terganggu oleh getar hp di sampingnya.

‘Ah, mengganggu saja.’

Tanpa ambil pusing, dia mematikan gadget itu, dan kembali fokus pada layar.

Setelah mengalahkan para draconian, dia mulai head to head melawan dragon yang dikendalikan oleh Evil Witcher.

Untuk menuntaskan misi ini, dia harus mengalahkan si Dragon. Kemudian, dia harus mengalahkan si Witcher.

“Bunny siapkan sihir. Black bersiap. Amire ayo mulai.”

Ya, dia dengan ketiga anggota party-nya, tengah melakukan raid di dungeon ini.

Sebagai seorang mage, Amire melemparkan sihir AoE pada naga yang mulai mengganas. Kemudian, Bunny yang seorang support, melemparkan buff kepada Black yang seorang Warrior.

Lalu, dengan flash step, dia mulai mengitari si Dragon, dan menyerang titik butanya.

Awalnya, semua terasa sulit. Si Dragon benar-benar kuat.

-Azvein awas!

Dengan peringatan cepat dari Bunny yang terdengar di headset, dia dapat menghindari sabetan ekor Dragon, dan menuju titik buta si Dragon lagi.

Beberapa saat kemudian…

Dragon itu menjerit, kemudian si Witcher yang berlindung di belakang menggunakan Dragon Barrier berteriak, dan melantunkan mantra.

 ‘Apa?! Ini aneh… Witcher itu tak pernah melakukan itu.’

Dia menatap layar dengan seksama, memperhatikan gerakan Witcher itu.

“Semuanya, waspada... Si Witcher melakukan gerakan aneh, persiapkan…”

 Belum sempat menyelesaikan omongannya, si Dragon berteriak keras.

-Kalian para serangga, terimalah pembalasanku!

‘Apa?! Dragon itu bisa bicara?’

Lalu, Dragon itu mengembangkan perutnya, dan mulutnya terbuka.

‘Ini gawat.’

“Semuanya, mundur dan jaga jarak. Bunny, Amire persiapkan semua pelindung yang kalian miliki. Black lindungi kami.”

-Ok

-Siap

-Ya

Suara yang tersalurkan dalam headphone-nya pun terdengar jelas dan patuh. Mereka akhirnya langsung melakukan formasi pertahanan terkuat yang mereka miliki.

-Rasakan ini… Final Judgement of Dragon

‘Apa?! Skill apa itu?’

“Gunakan semua MP kalian untuk defense!”

Blink…

Sesaat kemudian, layar komputernya, mendadak terang dan menyilaukan. Tak ada yang terlihat, selain layar putih terang di sana.

Setelah beberapa saat, cahaya itu perlahan meredup.

Saat pemandangan di layar mulai terlihat, mereka semua jatuh tersungkur.

Matanya langsung tertuju pada HP dan MP di pojok kiri bawah.

‘Apa?! Hanya 5% HP yang tersisa.’

 Saat kembali melihat tengah layar. Matanya tak bisa untuk tidak kaget, melihat semua teman-temannya memiliki HP yang sama dengan dirinya.

Lalu…

Belum sempat mengkonfirmasi keadaan suara Witcher itu terdengar…

-Kalian ternyata masih hidup, bajingan! Tapi itu bukan masalah. Dengan bantuan Dewa Harmen kalian akan mati.

Lalu, view miliknya diarahkan memutar, ada yang aneh.

‘Di mana Dragon itu?’

-Hey, semua. Sepertinya si Dragon sudah dikorbankan.

“Ya. Aku setuju denganmu.”

-Lalu, bagaimana ini?

Itu adalah suara Black, Killer Black.

-Kita tak bisa mundur, jalan belakang masih diblokir.

Ujar Amire yang masih terlihat santai.

“Baiklah, tak ada pilihan lain, kita harus mengalahkannya. Lagi pula, HP Witcher itu tinggal 10%, dan Barrier-nya sudah menghilang.”

-Ya, ayo cepat. Lagi pula, artifact-ku sudah lenyap untuk menahan serangan tadi. Sehingga, MP-ku hanya cukup untuk satu kali blessing atau buff normal.

Terakhir, itu adalah suara Bunny Girl.

Setelah merenung sesaat, dia mulai berbicara.

“Baiklah. Ujian Terakhir untuk Party Zexal… Maju…”

-Oke

-Hehe… aku suka ini…

-Ya!

***

 

“Akhirnya…”

Tubuhnya bersandar pada kursi, dan menghela nafas panjang.

“…Kami berhasil.”

Sesaat setelah mencapai rekor terbaru dungeon itu, mereka akhirnya membubarkan diri, setelah melakukan perayaan kecil-kecilan.

Bayang-bayang pertarungan sengit itu masih terngiang jelas di angan-angannya.

‘Lain kali, kami akan melakukan persiapan lebih matang…’

“Aku ceroboh tadi.”

Ya, dia tak mengira, jika ada perubahan mendadak dari pergerakan Dragon dan Witcher. Dia mulai merenung dan berfikir, jika perubahan itu disebabkan oleh cepatnya HP Dragon turun, dan sampai pada waktu tertentu, hingga ada perubahan pola serangan.

‘Sepertinya, skill itu adalah skill pamungkas untuk melenyapkan kami.’

Untungnya, di party-nya memiliki seorang Priest handal yang mempunyai artifact suci yang telah dipersiapkan. Andai itu tak ada, niscaya mereka semua akan mati seketika.

Ketika dia masih berfikir dengan gembira, ada suara di bel rumahnya.

‘Tamu?’

Setelah perhatiannya terpecah, dia mendengar suara samar itu. Dengan gembira, dia pun segera membuka pintu.

“Selamat malam, apakah ini benar dengan Bagas Cahyana?”

‘Polisi?’

“Ya, pak. Ada apa?”

Bagas masih binggung dengan kedatangan tiba-tiba dari aparat kepolisian itu.

“Kami ingin menyampaikan kabar duka. Keluargamu terkena kecelakaan tunggal di tol Cikampek.”

“Apa?!”

***

 

Siang hari itu terasa kelabu, seluruh dunia terasa gelap baginya. Tak disangka, dia kini hanya tinggal sebatang kara di rumah ini. Padahal, beberapa hari yang lalu, dia masih bisa bercanda dengan kakaknya yang cantik. Dan ibunya masih tertawa melihat tingkah mereka. Sementara, Ayahnya masih sibuk dengan koran paginya.

‘Kenapa semua menjadi seperti ini?’

Dia merasa terpukul, karena kejadian tak terduga ini. Apalagi, dia masih tak bisa menerima, jika kepergian orang tuanya terasa sangat jangal. Ya, karena tak mungkin ayahnya yang sangat teliti dan hati-hati, bisa ceroboh seperti itu. Itu adalah suatu hal yang sangat jarang terjadi.

Andai saja, saksi mata itu terbangun, mungkin semuanya akan menjadi jelas. Namun ternyata, kakak perempuannya masih terbaring lemah di rumah sakit. Dia koma.

Saat dia duduk dan terpaku menatap langit-langit, ada suara dari bel rumahnya.

“Halo, Bagas.”

“Ah, selamat datang om Pratama.”

Lelaki paruh baya itu masuk dengan izinnya, dan duduk di sofa.

“Mau minum apa om?”

“Tidak usah. Aku hanya sebentar di sini.”

Bagas langsung duduk di sampingnya.

“Maaf sebelumnya, gas. Tapi jujur, aku sedang khawatir,” ujarnya sambil meletakkan tas tangan yang ia bawa.

“Kamu tahu kan, kita tak bisa terus terdiam pada titik ini? Perusahaan harus tetap berjalan, bukan?”

Bagas mengangguk.

“Ya.”

Lelaki itu tersenyum. “Kamu tahu kan, kalau perusahaan ayahmu sedang goyang karena kematian ayahmu, dan banyak masalah muncul?”

Pemuda itu kembali mengangguk, mengenang cerita ayahnya yang sedang curhat pada ibu, tentang kesulitan mencari investor di perusahaan property mereka.

“Ya. Aku sudah tahu itu.”

“Lalu, apakah kamu tahu, jika kami telah memikirkan solusinya?”

“Benarkah?” tanya Bagas dengan mata berbinar.

Lelaki itu kembali tersenyum, “Ya. Kami dapat mengatasinya secepat mungkin, untuk mengatasi masalah ini… sebelum perusahaan bangkrut.”

‘Itu bagus.’

Tapi tiba-tiba, Pratama terlihat lesu.

“Tapi, ada satu masalah, gas.”

“Masalah?”

“Ya. Kamu tahu kan, ayahmu telah tiada. Jadi, mereka butuh orang yang bisa meyakinkan mereka.”

Berpikir cepat, bagas lalu mengeluarkan sebuah ide.

“Bukankah om bisa?”

Lelaki itu langsung tersenyum sekilas.

“Ya, tentu saja. Tapi… aku tak bisa mengatasi tekanan dari stake-holder (pemilik saham) lain.”

“Maksudnya?”

“Kamu tahu kan, di dalam perusahaan, ayahmu bisa meng-handle mereka dengan baik?”

“Ya.”

“Tapi, setelah ayahmu pergi… mereka mulai semena-mena ingin melakukan apapun yang mereka inginkan.”

“Apa?!”

‘Di mana pun, manusia busuk tetaplah sama!’

“Jangan khawatir begitu, kami sudah ada solusi.”

“Ya, lalu apa itu?”

“Kamu harus menyerahkan kekuasaan ayahmu kepadaku. Sehingga, kami bisa mengontrol mereka.”

“Benarkah? Om bisa melakukannya?”

Dia tersenyum lebar. “Tentu saja. Selama kami memiliki kendali, tentu kami akan melakukan yang terbaik untuk perusahaan,” ujarnya mengenggam tangan pemuda itu. “Yang perlu kamu lakukan adalah, percaya padaku.”

Sebuah dokumen meluncur tepat di depan pemuda itu.

‘Surat Kuasa.’

“Ah, ya Bagas…”

Pandangannya segera beralih ke lelaki itu.

“…Aku harus segera pergi. Mereka sedang rapat untuk memutuskan apa yang harus dilakukan perusahaan ke depannya. Jadi, aku tak bisa lama-lama di sini.”

“Ah… aku mengerti.”

“Jadi, bisakah kamu segera menanda-tangani itu, dan membiarkan kami mengurus mereka?” ujarnya tersenyum nakal.

Tanpa banyak bicara, pemuda 20 tahun itu langsung menanda-tangani dokumen bermaterai itu.

“Terima kasih, bagas.”

“Ya.”

“Baiklah, kalau begitu aku akan ke kantor sekarang.”

Pratama langsung berdiri dan bersiap untuk pergi.

“Ya. Terima kasih, om… Telah membantu kami.”

Dia hanya tersenyum.

“Jangan difikirkan. Oh iya, apa kamu mau ke rumah sakit? Biar sekalian aku antar.”

Bagas berfikir sejenak.

“Ide bagus.”

***

 

Setelah melihat kakaknya yang masih terbaring lemas, dia masih tak bisa percaya, jika kehidupan akan menjadi sesulit ini.

“Yang sabar ya, gas.”

“Ya.”

Pemuda itu hanya menatap kakaknya yang sedang tertidur pulas.

“Baiklah, aku akan kembali ke kantor, ya?”

Bagas hanya bisa mengangguk pelan.

Lelaki paruh baya itu pun segera pergi keluar, sebelum langkahnya terhenti.

“Oh iya, gas. Ini ada sedikit dariku. Kamu bisa mencairkannya sekarang. Untuk keperluanmu dan kakakmu.”

Sebuah kertas kecil disodorkan kepadanya.

Mata pemuda itu kemudian tertuju pada kertas itu, setelah ia menerimanya.

‘100 ribu?!’

“Om… apa ini tak terlalu banyak?”

Lelaki itu hanya tersenyum misterius.

“Itu sangat sedikit, dibandingkan dengan kekuatanmu untuk bersabar dalam musibah ini.”

Matanya berbinar, mendengar kalimat bijak itu.

“Baiklah. Sampai jumpa.”

“Terima kasih banyak, om.”

“Harusnya, aku yang harus berterima kasih padamu.”

Setelah lelaki itu menghilang, dia menjadi sedikit optimis tentang langkah ke depannya.

‘Kakak, aku akan menjagamu. Seperti pesan terakhir ibu.’

***

 

Keesokan harinya, saat dia selesai mandi, ada seorang tamu yang mengunjunginya.

“Halo, anda siapa?”

“Aku pengacara ayahmu.”

“Pengacara?”

“Ya…” ujarnya seraya melepaskan kacamata hitamnya. “Bolehkah aku masuk?”

“Oh… tentu…”

Bagas lalu mempersiapkan dua cangkir kopi, sesuai request dari pengacara itu.

“Baiklah, kita langsung saja. Sebagai pengacara ayahmu, aku ada wasiat yang beliau berikan padamu.”

“Ya.”

Pemuda itu sudah tahu ini akan terjadi, cepat atau lambat.

“Kamu mendapatkan seluruh warisan keluarga, namun dengan catatan, kamu harus merawat kakakmu yang sedang koma.”

“Tentu saja.”

Ada lirikan aneh di sana, di mana seperti pengacara itu meragukan jawaban itu.

Dia mengambil nafas berat. “Baiklah… aku tak tahu apa yang ada difikiranmu. Tapi, aku akan melanjutkan…”

Bagas masih menyimak dengan tenang.

“…kamu ingat sudah menanda-tangani sesuatu kemarin atau beberapa waktu yang lalu?”

‘Tanda tangan?’

Dia masih binggung.

“Sesuatu seperti surat kuasa?”

Pemuda itu teringat sesuatu.

“Ah… ya… kemarin aku men…”

Sebelum menyelesaikan kalimatnya, pengacara itu memotongnya dengan dingin.

“Maaf, entah apa alasanmu. Itu adalah tindakan ceroboh.”

“Apa?!”

Dia mengeluarkan berkas dari tas yang ia bawa.

“Lihatlah…” sambungnya, sambil menunjukkan satu baris kalimat di sana.

[…yang menanda-tangani telah dengan sadar dan mengerti, jika semua kuasa tentang asset dan saham di perusahaan property South East Harmony telah diserahkan kepada Sdr. Yudha Pratama, namun kepemilikan hutang dan tanggungan almarhum, tetap ditanggung oleh saya, Bagas Cahyana.]

“Apa?!”

Matanya terbelalak tak percaya.

Pengacara itu pasti paham, dan melihat pemuda labil itu dengan tatapan tajam.

“Baiklah. Kita teruskan kepada hitungan warisan.”

“A-apa… apa maksudnya ini?” ujarnya menunjuk berkas itu.

“Oh… bukankah sudah jelas di sana?” jawab pengacara itu dengan acuh. “Oh iya… percuma kamu melakukan apapun, karena itu telah masuk ke ranah hukum. Dan kamu sudah menanda-tanganinya di atas surat bermaterai.”

Bagas masih membeku tak percaya.

Dengan dingin, pengacara itu melanjutkan tugasnya.

“Daripada berbelit-belit aku menjelaskan. Aku akan meninggalkan salinan berkasnya di sini, dan membiarkanmu berfikir sendiri,” ucapnya tegas dengan lirikan tajam. “Baiklah. Kesimpulannya, sekarang kamu punya warisan hutan 30 juta pada bank. Dan jatuh tempo terakhir besok. Jika kamu tak bisa melunasinya, semua asset, sertifikat rumah dan tanah, serta kendaraan yang kamu pakai, akan disita…”

Pemuda itu masih terpaku kosong.

“…Lalu, jika semua telah disita. Dalam tempo satu tahun, jika kamu tak bisa melunasinya, maka semua barang akan dilelang satu-persatu sesuai angsuran yang disepakati.”

Setelah beberapa saat, Bagas mulai membuka mulutnya.

“T-tapi…”

“Baiklah, urusanku sudah selesai di sini,” ujarnya kembali memotong pernyataan pemuda itu.

Pengacara itu segera bangkit. Namun, tangannya terkait erat di sana. Pandangannya segera beralih ke wajah yang masih binggung itu.

“K-kenapa bisa se…”

“Hey, bodoh. Jangan kamu pikir dunia itu semudah apa yang kamu kira.”

Dengan keras, tangan itu segera terlepas dari pemuda bimbang itu. “Oh iya, sebagai teman ayahmu. Aku sarankan kamu segera pergi. Dan jika ada sesuatu yang kamu butuhkan hubungi ini.”

Pengacara itu meninggalkan sebuah kartu nama.

[Pengacara Zaky Maulana

08XX-XXXX-XXXX]

***

 

Terjatuh tertimpa tangga pula.

Itulah keadaan yang tengah ia alami. Setelah dia cekcok dengan para petugas dari bank, dia diusir dengan keras dari rumahnya sendiri. Dia tak memiliki apapun, selain baju yang melekat padanya, dan tas yang selalu ia bawa.

Saat ini, dia sedang termenung di depan kakaknya yang masih tertidur.

Dia ingin menangis, sambil memegang HP dengan layar retak miliknya. Ada pesan dari ibunya di sana.

[Tolong jaga, Yuli. Kakakmu yang manja ini, ya... pahlawan ibu, bagas.]

Dia menangis sejadi-jadinya. Tak mengeluarkan suara selain kalimat…

“Maafkan aku, karena aku terlalu bodoh.”

Dia teringat, sebelum perjalanan kemari… saat dia pergi ke kantor ayahnya. Dia bertemu dengan lelaki yang telah menghancurkan hidupnya.

“Bajingan! Kembalikan warisanku!”

Tapi, lelaki paruh baya itu hanya tersenyum dan menerima pukulan lemah dari pemuda itu.

Setelah mereka dilerai, dan bagas dipegangi kedua tangannya oleh orang sekitar, lelaki itu berbicara.

“Kembalikan? Kamu sudah memberikannya kepadaku, kan? Dan aku sudah memberikan kompensasinya bukan?” ujarnya tersenyum busuk. “Lalu, kamu juga berterima kasih padaku, bukan?”

“Bajingan!”

Pramana hanya tertawa lebar, dan kembali menatapnya dengan tajam. “Usir dia! Kalau dia masih membuat masalah, laporkan ke polisi!”

“Kau?!”

“Dasar bocah!”

Saat teringat hal itu, dadanya selalu panas dan merasakan dendam yang membara di seluruh tubuhnya.

“Aku akan membalasmu, lelaki tua busuk!”

Sebenarnya, dia telah putus asa. Namun, karena pesan tak tersampaikan dari pesan ibunya itu, maka dia berusaha bertahan sekuat mungkin.

Ya, dia telah kehilangan semuanya.

Langkah kaki tanpa tenaga itu berhenti di sebuah warnet, di mana ia menatap layar lebar di sana.

[Throne of Paradise

Game Virtual Reality yang menciptakan dunia lain, seperti dunia nyatamu. Cobalah!]

Dulu, mungkin dia akan tertarik dengan hal itu. Namun sekarang, dia sudah tak menginginkan itu. Dia hanya ingin menghilang dari dunia ini.

Yah, dia merasa sudah tak mampu lagi untuk hidup.

Tiba-tiba…

“Hey bocah!”

Tatapannya segera beralih ke sumber suara.

‘Oh kau…’

Dengan stelan jas hitam, lelaki itu memarkir mobilnya di pinggir jalan, dan mendekatinya.

“Ikut denganku.”

“Untuk apa? Tak ada gunanya,” ujar Bagas dengan kembali menatap kosong ke depan.

Si pengacara hanya menghembuskan nafas berat.

“Aku ada kabar baik untukmu.”

Pemuda itu masih tak memperhatikan.

“kamu ingat rumah kakekmu yang di Tangerang?”

Matanya langsung terbelalak, membesar.

‘Apa rumah itu juga disita?’

“Tenang saja, rumah itu aman,”

Zaky berkata, setelah melihat ekspresi pemuda itu. Dia melanjutkan, “Kamu bisa tinggal di sana. dan aku dengar, kamu dapat masalah tadi.”

“Apa urusanmu?”

Lelaki itu kembali menghembuskan nafas berat.

“Kamu mau solusi dari masalahmu?”

Bagas segera berbalik, dan memperhatikan.

“Ikutlah denganku.”