Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

***Dukung kami: Traktir ngopi! (min Rp 1.000,-)***
Laporan Donasi

UG_005

gambar

Unlucky Game

UG_005

 

5. Priest Evaline

 

Dia terdiam sejenak, terpaku pada layar pemberitahuan itu. Azvein merasa ada yang salah dengan pemberitahuan ‘level up’ itu.

‘Kenapa pemberitahuan itu muncul di saat seperti ini?’

Dia mencoba mengingat-ingat tentang apa yang baru saja terjadi. Setelah mengingat jumlah piring dan gelas yang ia cuci, ia mendapatkan jawabannya.

‘Aku sudah mencuci 300 piring lebih, dan sekitar 100 gelas. Tunggu dulu, jangan-jangan?’

Dia kemudian membuka tab quest.

[Jumlah yang dicuci:

-Piring= 323 buah.

-Gelas= 100 buah.]

‘Ah… itu benar. Tapi, bukankah yang terakhir, aku mencuci 2 piring. Sebelum gelas terakhir? Kenapa pemberi-tahuan ini muncul sekarang?’

Dia merasa binggung akan kondisi yang ia alami saat ini. Hingga dia tak sadar, jika ia sedang diperhatikan.

“Apakah kamu sedang binggung?”

“Ah… iya...” jawab Azvein, dengan menggaruk bagian belakang kepalanya.

Entah kenapa, dia bisa melupakan sosok yang begitu peduli padanya, dan tenggelam dalam hal semacam itu. Melupakan malaikat yang selalu menolongnya, dalam berbagai situasi sulit.

“Kamu tahu… jika kita setengah tak sadar, semua wahyu juga akan ikut digantungkan.”

‘Ah, wahyu?’

Dia terpaku sejenak dengan istilah ‘wahyu’ itu.

‘Jangan-jangan, wahyu dalam konteks NPC, sama dengan pemberitahuan sistem?’

Jika dia berfikir seperti itu, semuanya menjadi masuk akal. Tadi, pandangannya mulai goyah, ketika HP-nya di bawah 5%, dan Satiety sudah mencapai 98%. Jadi masuk akal, bila dia tak bisa melihat jendela pemberitahuan, jika masuk dalam kondisi ‘setengah tak sadar’.

Sekali lagi, dia merasa sangat terbantu dengan malaikat yang selalu membantunya ini.

Setelah memastikan itu, dia segera melihat jendela statusnya.

[Satiety= 50%]

‘Bagus!’

Berkat heal potion yang diberikan Evaline, dia bisa lepas dari kondisi mautnya. Tanpa berfikir panjang, dia segera mengenggam tangan gadis yang sedari tadi menatapnya. Dan Azvein dengan semangat melihatnya dalam-dalam.

“Terima kasih, Priest Evaline! Aku, Azvein, pasti akan membalas semua kebaikanmu ini!”

“Ah, anu…”

Tanpa terasa, wajah gadis itu mulai memerah entah karena apa. Dia merasakan perasaan aneh, yang sebelumnya tak pernah ia miliki. Lalu, dia hanya bisa menghindari tatapan tulus dari pemuda di depannya ini.

“Ti…tidak apa-apa. Jangan di…”

“Hey, bocah!”

Sebelum gadis itu selesai bicara, ada suara menakutkan yang muncul di belakang Azvein. Langsung saja, bulu kuduknya berdiri tegap, dan sengatan listrik halus menjalar di seluruh tubuhnya. Seolah, dia telah dikalungi sabit dari grim reaper.

Gulp…

Tiba-tiba, tangannya yang sedari tadi hangat memegang tangan lembut dari priest itu segera basah oleh keringat. Dengan gemetar, dia mengangkat kedua tangannya, tanpa bisa menggerakkan tubuhnya yang lain.

“Ma… maaf.”

“Apa yang kamu lakukan?!”

Tanpa menoleh ke belakang, dia bisa tahu, jika ada tatapan tajam yang menembus punggungnya. Tatapan yang ia lihat, saat itu diarahkan pada seseorang yang menganggunya, ketika masuk pub ini.

“Paman Albert!”

Evaline yang melihat itu, langsung bergeras berdiri dan melihat ke arah paman itu dengan wajah cemberut.

“Ah…”

Seolah melakukan sebuah kesalahan, Albert segera menghilangkan tekanannya, dan menghindari tatapan Evaline. Dia segera mengaruk pipinya dengan jari telunjuk, seraya menatap ke arah langit-langit.

“Paman jangan galak!”

“Ti… tidak… aku tidak galak. Benarkan bocah?” elaknya, sambil menatap kepada pemuda yang masih tak bisa menggerakkan bokongnya.

“Be… benar.”

Jawab Azvein yang merasa akan tertimpa masalah besar, jika ia merespon sebaliknya.

“Benarkah?”

Evaline menatap bocah itu dengan mata berkaca-kaca.

“Y… ya.”

“Bagus!” jawab Evaline, seraya tersenyum cerah.

Dia lalu melihat ke arah orang tua yang sedang merapikan sikapnya yang elegan dan menawan. Lalu, dia meraih tangannya dan segera menunjuk ke sebuah keranjang tertutup kain.

“Paman, aku membawakan pai apel kesukaanmu. Ayo kita makan.”

Tanpa menunggu jawaban paman itu, dia segera menyeretnya untuk duduk dan membuka tutup keranjang itu.

“Wah… kebetulan sekali. Aku juga belum makan siang.”

“Bagus. Maka, kita bisa makan bersama-sama.”

Tatapan cantik itu segera beralih ke arah pemuda yang sedari tadi terpaku di depan ember dan perkakas kotor.

‘Aku?’

Tanpa menggerakan bibir, Azvein hanya mengangkat jari telunjuknya ke arah muka. Mengkonfirmasi, jika ia juga diajak makan.

“Heemm…”

Evaline hanya mengangguk keras dan tersenyum menanggapinya.

“Ba…”

Sebelum kalimat itu keluar, mata Azvein beralih ke sebelah keindahan priest itu. Kemudian, dia mendapati tatapan tajam yang sedari tadi sempat menghilang. Seolah itu berkata, ‘jika kamu ikut. Kamu akan mati!’.

Gulp…

Entah kenapa, ia kembali bergetar, setelah kesulitan menelan ludah keringnya.

‘Kenapa Evaline yang baik hati, memiliki paman yang sangat kejam…?’

“Paman….”

Setelah melihat ke arah lelaki tua yang telah memegang sendok dengan pai apel di atasnya, Evaline segera bergerak.

“Kita harus membantunya, kan?”

Seolah tersedak, Albert segera menelan pai apel yang belum lepas dari sendoknya, dengan berat.

“Be… benar.”

Evaline hanya bisa tersenyum, dan kembali melihat ke arah pemuda yang merasakan kecanggungan itu juga.

“Ayo, kemari. Masih ada banyak. Makanlah sepuasmu…”

‘Evaline… sungguh, kamu adalah malaikatku.’

***

 

“Baiklah… ayo kita mulai lagi!”

Saat ini, dia kembali ke tempatnya semula. Dia sekarang sendirian, setelah Evaline dan paman mengerikan itu pergi keluar dari dapur.

Setelah memastikan jika Satiety-nya telah menjadi 0%, dia setidaknya sudah bisa melakukan quest tanpa akhir miliknya ini.

‘Tapi sebelum itu… Stats Window.’

Nama

Azvein

Race

Human

Level

1

Class

Newbie

Fame

0

Title

Unlucky Player

 

Health Point

1

Mana Point

-39

Strength

-53

Agility

-52

Endurance

-55

Intelligence

-38

Wisdom

-50

Luck

-13(-999)

Ability Point: 1

 

‘Cih…’

Dia hanya bisa berdecak kecewa, melihat kondisinya sekarang. Bagaimana mungkin dia bisa melewati semua ini, jika dia tak bisa lepas dari statistik minus-nya ini?

‘Agar aku bisa memulihkan tubuhku. Yang pertama aku lakukan… gunakan ability point pada Agility.’

Dia hanya berfikir untuk segera level up lagi, dengan mencuci 100 piring dan 100 gelas lagi. Setelah menyadari peluang ini, dia setidaknya bisa menambah kecepatannya dalam mencuci, sebelum dirinya mati lagi.

‘Aku sudah tak punya roti gandum.’

Dia segera menyadari, jika dia perlu melakukan manajemen ulang, tentang cara dia untuk menyelesaikan quest ini.

‘Ini kesempatan terakhirku. Jika tidak, aku tak bisa lagi berharap pada karakter ini.’

Ya, karena dia percaya, keajaiban di mana seseorang akan menolongnya lagi, tak akan pernah terjadi. Itu sama seperti di dunia nyata, di mana ia tak akan mudah untuk percaya orang lain. Ataupun percaya pada keajaiban yang akan datang, walaupun ia telah kehilangan semuanya.

‘Kali ini, aku harus bisa mencapai 100 piring dan 100 gelas, sebelum aku mati karena kelaparan.’

Dia bertekad untuk melakukan ini.

Tanpa membuang waktu, Azvein mulai melakukan rutinitasnya untuk mencuci piring.

Awalnya dia mencoba kombinasi 1 piring dan 2 gelas. Tapi setelah mencapai piring kelima, dia merasakan ada yang salah dari caranya. Karena dengan gerakan itu, Satiety-nya sudah naik ke 52%.

Artinya, dia hanya maksimal akan sampai ke 50 piring dan 100 gelas. Jelas, dia akan gagal dalam quest, dan mati karena kelaparan.

Lalu, dia mencoba cara lain.

5 piring dan 1 gelas.

Karena dia merasa, jika piring membutuhkan usaha lebih banyak daripada gelas, maka dia memfokuskan diri pada mencuci piring. Tapi…

‘Sial… ini tak akan berhasil.’

Setelah mencoba satu kali dan melihat Satiety-nya yang naik ke 57%, dia merasakan frustasi yang amat sangat.

Tak ada jalan lagi untuk quest ini. Dia memang ditakdirkan untuk gagal. Tapi, sebelum dia menyerah pada fikiran negatifnya, ada suara yang menganggunya.

“Ekhm…”

Azvein langsung melihat ke arah sumber suara.

Tatapan tajam itu masih sama, seperti elang yang tengah menargetkan mangsanya.

Azvein tak bisa berkata apapun, dan hanya terpaku.

“Ini, 5 copper-mu.”

Matanya membelalak, tanda tak percaya.

‘Hadiah quest!’

“Anu… paman…”

“Hm?”

Sejenak, ia merasakan tekanan membunuh yang ia rasakan tadi. Tapi, Azvein sudah merasakan itu sekali sebelumnya. Jadi, dia merasa bisa lebih baik untuk menghadapinya.

“A…aku mau roti gandum saja.”

“Kenapa?”

“Ji… jika aku menerima copper itu, dan kembali kemari. Aku pasti akan mati kelaparan di jalan…”

Ya, setelah berhitung cepat dan menilai segala kondisi, dia segera menyadari, jika dia tak akan mungkin untuk beranjak dari pub ini ke toko roti. Karena sebelumnya, ia sudah mengukur, jika Satiety-nya akan bertambah 30%, dari jarak 30 meter antara toko roti dan pub ini, saat pertama kali ia datang.

“Baiklah… aku akan membantumu.”

“Te… terima kasih pa…”

“Hey…”

Kembali, aura membunuh itu kembali mengalunginya dengan tangan dewa kematian. Membuatnya tak bisa melanjutkan atau berkata apapun.

“Aku melakukan ini, karena Evaline yang memintaku. Jangan salah paham.”

“Evaline?”

Mata Azvein berbinar, mendengar dewi penolongnya yang selalu memberkatinya.

“Lalu, jangan memanggilku paman!”

“Hiks…”

Di kalimat terakhir itu benar-benar mengancam. Tak ada keraguan sedikit pun di sana.

“Oh iya. Evaline juga memberimu ini.”

Dengan melempar sebotol cairan merah, Albert segera meninggalkan dapur.

“Te… terima kasih!”

Setelah menerima botol itu, dia segera mengeceknya.

[Medium Heal Potion

Ramuan yang diracik dari berbagai tanaman herbal dan sihir dari Crunch of Michael. Potion ini bisa menyembuhkan luka serius, yang tak menyangkut kematian. Bisa menyembuhkan 1.000 HP.

Harga: 5 silver.]

‘Medium Heal Potion!’

Ding!

[Efek title ‘Unlucky Player’ aktif.

Karena Anda terlihat sangat kesusahan, priest Evaline merasa iba terhadapmu. Dia akan memberikan Medium Heal Potion kepadamu.

Namun, karena efek Unlucky Player, segala reward, hadiah quest, dan item drop, akan berkurang 50% atau peluang mendapatkan jackpot berkurang 50%.

Evaline memberikanmu 1 Medium Heal Potion. Namun, karena efek Unlucky Player, Anda hanya mendapatkan 50% efek Medium Heal Potion.

1.000 HP x 50%= 500 HP.]

“SSSIIIAAAAALLLLLLL!!!!!!!!”

***

 

Rambut hitamnya yang tak lagi kering, dengan tangan yang semakin keriput, membuatnya ingin segera menyerah.

Tapi, teringat kakaknya yang sedang koma di rumah sakit, dan pesan terakhir ibunya, dia tetap berusaha keras untuk mencuci piring dan gelas di pub yang tak pernah tutup ini.

‘Sial… potion ini tinggal setengah.’

Untung saja, Medium Heal Potion ini menjadikan Satiety-nya 0%. Meskipun terkadang, itu tak akan turun, jika dia tak memakan atau meminum apapun.

Andai kata dia tak makan selama 24 jam (dalam waktu game, atau setara 8 jam waktu dunia nyata), tingkat Satiety-nya tak akan berkurang. Maka, di waktu itulah dia mengkonsumsi 4 roti gandum hasil kerja kerasnya.

Dari 24 jam waktu game ini, dia telah berhasil menyelesaikan quest tanpa akhir ini sebanyak 10 kali. Berkat bantuan potion, dia bisa menghemat 36 roti gandum pada hari ini. Sebenarnya, dia ingin melanjutkan ini hingga ia mencapai batas login 24 jam waktu dunia nyata.

Tapi, dia teringat, jika sekarang dia harus bekerja di restoran, di Jakarta. Sehingga dia harus logout lebih awal.

Tapi, sebelum dia logout, dia sedikit trauma dengan kematian 100 kali miliknya. Sehingga, dia tetap duduk di tempatnya, di depan ember dan perkakas kotor milik pub.

Dia yakin, jika paman Albert akan melindunginya dari macam bahaya. Sehingga, dia yakin untuk logout di sana.

***

 

Setelah sampai di restoran, dia segera berkerja 8 jam lagi untuk mengejar satu shift sore, jam 14.00-20.00.

“Hey…”

“Ah, Ratna.”

Gadis yang bersemangat ini menghampirinya, dan tetap menjalankan tugasnya untuk memilah-milah bahan, membantunya.

“Kenapa kamu keluar dari shift pagi?”

“Ah…”

Bagas memang sengaja untuk mengurangi jam kerjanya, agar bisa fokus pada game virtual reality-nya. Meskipun, dia harus mengorbankan jadwal kerjanya di Jakarta, dan menambah biaya MRT yang semakin mahal. Tapi, dia harus melakukannya.

“Aku sedang fokus pada karakterku.”

“Ah… Throne of Paradise.”

Bagas hanya menangguk ringan, sambil terus fokus pada pekerjaannya.

Awalnya, dia berfikir untuk tetap bekerja selama 2 shift. Tapi, demi kesehatannya yang tak boleh tumbang di saat kritis seperti ini, dia akhirnya memberanikan diri untuk kehilangan gaji 2 ribu untuk kebutuhan hidupnya, demi 2 ribu sisinya untuk pembayaran perawatan kakaknya.

Ya, sebenarnya, jika dia hidup seperti biasanya, dia tak akan kekurangan apapun untuk sementara. Karena uang 30 ribu sisa penjualan perusahaan ayahnya, bisa menghidupinya. Tapi, dia tak akan bisa bertahan lebih lama, jika ada kebutuhan mendesak.

Terlebih, jika kakaknya dijadwalkan untuk check up kesehatan setiap 3 bulan sekali.

“Hey… hey… kamu tahu?”

“Hm?”

“Throne of Paradise akan menyelenggarakan Kompetisi Nasional pertama!”

“Ya.”

Bagas tak tertarik dengan hal itu. Bagaimana dia bisa menghadap ke langit, sementara dirinya terjebak di selokan bawah tanah?

Dia saat ini fokus untuk keluar dari tempat kotor itu, dan bukan hal lain. Tapi, Ratna yang tak memahami itu, terus saja mengoceh.

“Kali ini, di Indonesia juga diadakan seleksi lokal. Karena setiap negara hanya diperbolehkan mengirim 2 tim. Katanya, di Indonesia juga diselenggarakan, karena jumlah peminat Throne of Paradise tak kalah dengan India dan China, yang menjadi saingan berat di regional Asia.

Kamu tahu, tim mana yang akan menjadi kandidat kuat di regional Asia Tenggara?”

“Tidak.”

“Begini… kamu tahu guild Red Rose dari Thailand?”

“Tidak.”

“Ah, di sana ada player terkuat di regional Asia Tenggara. High Ranker peringkat 53, Shark. Kabarnya, dia sudah mencapai level 143, dan menjadi top ranker di kelas Necromancer.”

“Necromancer?!”

Seolah ia salah mendengar, dia mengulangi kalimat itu dengan keras. Ratna yang berhasil menarik perhatian pemuda itu pun tersenyum.

“Ya, itu adalah cabang dari kelas Dark Mage.”

“Bukankah ras undead masih terkunci?”

Ya, dia ingat saat membuat karakter dulu, hanya ada 3 ras yang bisa dipilih; Human, Elf, dan Dwarf. Sementara Undead, Beast, dan Demon masih terkunci.

“Hah?! Kamu ngomong apa? Ras undead dan beast sudah terbuka sejak dua bulan lalu.”

“Apa?!”

“Ya! Player pertama yang mendapatkan kelas undead juga Shark. Dia menapat quest tersembunyi dari dark mage, dan membuka ras undead. Lalu hadiahnya, dia meberhasil merubah kelas tanpa mengurangi statistiknya. Dia mengumumkan ini di tv.”

“Apa?!”

‘Jadi, penemu suatu ras baru, tak akan di-reset statistiknya?’

Bagas terkejut dengan sistem baru dari Unicorn Inc. ini, selaku developer dari Throne of Paradise. Bagaimana mereka bisa membiarkan seorang player lebih kuat dari pada kebanyakan player lain?

Lalu, bagaimana dengan keseimbangan game-nya?

“Ah, jangan terkejut dulu. Kamu pasti akan terkejut dengan berita ini.”

“Berita apa?”

Dia merasa bodoh, karena kesibukannya yang sangat padat, sehingga dia melupakan salah satu factor terpenting dalam sebuah game. Yaitu, perkembangan game itu sendiri.

Untungnya, ia memiliki teman sebaik Ratna, yang mau menceritakan info itu padanya.

“Aku tahu, kamu baru bermain game VR baru-baru ini. Jadi wajar saja, jika kamu tak tahu info Throne of Paradise.”

“….”

“Ah, iya. Kamu tahu ras beast terbuka sebulan yang lalu?”

“…”

Melihat ekspresi serius dari Bagas, Ratna tak bisa bercanda lagi, lalu dia juga bersikap serius.

“Em… ras beast dibuka oleh salah satu player Indonesia. Top Ranker peringkat 8, Killer Black.”

“Killer Black?!”