BAE_107
BAE_107
Chapter 107: Mentoleransi Dendam
#PoV: Arthur Leywin
Aku tidak yakin, apa yang aku harapkan, keluar dari tanah
yang dihuni oleh makhluk yang pada dasarnya dianggap sebagai dewa ini. Tapi
untuk beberapa alasan, dalam pikiranku, aku sudah membayangkan daratan besar
dan fantastis yang dibangun dari emas, berlian, atau beberapa bahan berharga
lainnya.
Di dunia lamaku, bahkan rumah milik tokoh paling berpengaruh, dirancang dengan tujuan kepraktisan lebih dari apa pun. Lagipula sebagian besar dari tokoh penting itu adalah seorang prajurit, dan selera mereka agak sederhana.
Hal-hal seperti furnitur yang terbuat dari kulit binatang
yang berharga, dirasa tidak perlu. Dan itu hanya dicari oleh pedagang kaya dan
politisi yang memiliki harga diri besar, dan berbanding lurus dengan kekayaan
mereka.
Lalu, setelah keluar dari lingkaran cahaya emas dan
melangkah ke ranah asura, aku hanya bisa terdiam terkejut dan terengah-engah.
Suasana hatiku sangat buruk, karena masih berkubang dalam
penyesalan atas keputusanku baru-baru ini. Tapi setelah melirik tanah tempat di
mana Sylvia dan Windsom datang, ini cukup untukku sementara melupakan masalah
dan kesulitan di masa depan.
Rasanya, seolah-olah aku sudah dibawa ke planet yang berbeda.
Ke sebuah planet di mana bukan penduduknya yang telah membangun bangunan dan
istana. Tapi, lebih ke tempat di mana bumi dan tanah itu sendiri yang menempa
dirinya, menjadi cukup layak untuk ditinggali.
Benteng yang menjulang di hadapanku tampak seperti secara
alami terbentuk. Karena, tidak ada tanda-tanda atau indikasi jika itu telah
dibentuk atau dipahat.
Desain yang canggih dan rune yang dibuat dari sesuatu yang
tampak seperti mineral berharga, menutupi dinding benteng yang berdiri cukup
tinggi, untuk bahkan bisa dilihat dari beberapa kilometer jauhnya.
Pohon-pohon juga membungkuk dan berbaris bersama-sama dalam
lengkungan, untuk membuat sebuah koridor yang mengarah ke pintu masuk di atas
jembatan, yang berkilauan dalam berbagai warna indah.
Mengalihkan mataku dari benteng itu sendiri sudah cukup
sulit, begitu pula dengan jembatannya. Setidaknya, aku cukup bisa menenangkan
diri untuk menatap ke sekitar juga.
Windsom membawaku ke atas sebuah gunung yang penuh dengan
pohon-pohon, yang mengingatkanku dengan bunga sakura.
Pohon-pohon yang akrab itu sedang bermekaran, dengan kilauan
kelopak merah muda, yang tampak menari saat mereka melayang ke tanah. Jembatan
yang terbentang di depanku, juga terlihat dikeluarkan oleh gunung yang berada
di ujungnya.
Melihat dari atas, sudah cukup bagiku mengerti, jika Gunung
diantara jembatan cukup tinggi. Hingga bahkan awan menutupi segala sesuatu di
bawah jembatan, dengan dua puncak gunung yang terjebak seperti dua pulau di
lautan kabur putih.
“Selamat datang di Epheotus, atau lebih tepatnya, benteng
Klan Indrath.”
Windsom berjalan menuju kastil, menginjakkan kakiknya di
jembatan mineral berharga, yang setiap raja fana akan mengobarkan perang
untuknya, sebelum menatapku dan memanggilku untuk mengikutinya.
Mengambil napas dalam-dalam, aku mengikuti di belakang asura
ini, sambil berhati-hati menempatkan kaki kananku di atas permukaan jembatan.
Jembatan ini semi-transparan…
Saat aku menginjak permukaannya, perasaan yang mendalam dari
rasa takut menyerangku. Yang juga membuatku terkejut, karena aku bahkan tidak
pernah memiliki rasa takut akan ketinggian sebelumnya.
Ini mungkin juga karena fakta, jika tidak ada pegangngan
dari jembatan yang membentang beberapa ratus kaki.
“Klan Indrath? Apa itu artinya kita berada di rumah keluarga
Sylvia?”
Aku bertanya. Aku telah memutuskan untuk percaya pada
jembatan berwarna-warni ini, daripada membayangkan apa yang akan terjadi, jika
itu tiba-tiba pecah saat ini. Berjalan bersama Windsom, kami berjalan menuju
istana.
“Ya. Tuan Indrath telah memerintahkan agar aku membawamu dan
Lady Sylvie kepadanya, ketika tiba,” jawab asura itu.
Melihat dia yang biasanya dingin dan menyendiri merapikan
lipatan di jubahnya dengan cemas, membuatku merasa lucu.
“Apa ada beberapa tips terakhi,r sebelum bertemu Tuan Mahakuasa
ini?”
“Sayangnya, bahkan aku tidak tahu apa yang ia harapkan.
Lagipula ini agak aneh,” jawabnya, sambil merapikan rambutnya.
Mendesah, aku melirik Sylvie yang tidur dalam pelukanku. Aku
mulai khawatir, dengan berapa banyak dia tidur. Satu-satunya hal menghiburku,
hanyalah irama pernapasannya.
Pintu di kastil hanya bisa digambarkan, dengan rasa
mengerikan. Mereka tinggi, tidak hanya untuk anak laki-laki berusia tiga belas
tahun. Tapi, itu bahkan cukup tinggi untuk menyamai raksasa dan… mungkin… dragon
juga.
“Tidak ada penjaga atau apapun?”
Aku bertanya, sambil melihat sekeliling pintu yang sudah
terbuka.
“Tentu saja ada. Mereka sedang menatap kita, saat kita
menyeberangi jembatan. Cepatlah, kita tidak boleh membiarkan Lord Indrath terus
menunggu.”
Saat aku melangkah dari jembatan dan masuk ke benteng, rasa
cemasku pergi. Ternyata, aku bermandi keringat dingin, bukan karena tinggi
jembatannya. Tapi karena siapa, atau apa pun, yang mengawasiku saat menyebrang.
Interior benteng tidak mengecewakan, dan tidak kalah dari
bagian luarnya. Langit-langit yang tinggi dengan lengkungan, yang tampak telah
diukir dari gunung terlihat. Dindingnya sendiri dihiasi dengan ukiran rumit dan
rinci. Seolah-olah, itu memiliki cerita di dalamnya.
Namun, mengingat betapa besarnya benteng ini, cukup
menakutkan, jika bagian dalamnya sangatlah tenang.
“Lewat sini. Klan Indrath sudah menunggumu.”
Windsom bergerak ke suatu ruangan, sambil terus memperbaiki
beberapa bagian dari pakaiannya.
“Tunggu, seluruh klan menunggu kita?”
“Ya, cepatlah, kita sudah terlambat,”
Asura itu mendesah, saat dia berjalan di depanku menuju
lorong yang menakutkan.
Sekali lagi, tulang belakangku menggigil. Tapi kali ini, aku
bisa melihat sumbernya.
Pada ujung koridor, dua tokoh menjaga pintu. Aku tidak bisa
melihat dengan jelas penampilan mereka, karena mereka diselimuti kegelapan dari
bayangan yang dilemparkan oleh lampu di koridor.
Namun, naluriku sudah memberi peringatan, mati-matian
berusaha untuk meyakinkanku bergerak sejauh mungkin, dari kedua sosok itu.
AKu teringat saat berada di hadapan Elderwood Guardian. Namun,
aku juga punya perasaan, jika di depan kedua orang penjaga ini. Mana Beast
kelas S yang hampir membunuhku itu, pasti sama seperti hewan ternak.
Windsom dan diriku akhirnya mendekati mereka.
Mencapai pintu, aku sekarang mampu membedakan fitur kedua
penjaga.
Salah satunya adalah seorang perempuan dengan ekspresi ramah
di wajahnya. Dia tampak agak tomboy dengan rambut pendek hijau hingga di bawah
telinganya. Tapi, kurva yang berbeda terlihat di bawah baju kulitnya.
Pria di sampingnya tampak jauh lebih ganas, dengan mata
tajam dan bekas luka yang melintasi pipinya.
Satu-satunya senjata yang aku lihat pada salah satu dari
mereka adalah, belati pendek yang diikat ke masing-masing pinggang mereka.
“Tetua Windsom. Sepertinya, kamu akhirnya membawa anak
manusia itu,”
Penjaga perempuan menyeringai. Penjaga laki-laki menatap
Sylvie dan menatapku dalam tatapan evaluasi.
“Apakah tak masalah, untuk anak manusia membawa Putri?” ia
bertanya.
“Biarlah, Signiz. Mereka sudah terikat,”
Windsom mencela.
“Sekarang… apa kalian akan membiarkan kami lewat atau
tidak?”
Dua penjaga saling memandang sebentar, sebelum memberikan
Windsom anggukan singkat. Saat dua dari mereka menghadap pintu, aura yang
mereka pancarkan meningkat secara signifikan, cukup untuk menjadi berwujud.
Hanya beberapa detik berlalu, tapi manik-manik dingin
keringat membasahi wajahku, saat aku kesulitan bernapas.
Dua penjaga masing-masing memegang salah satu gagang pintu,
dan membukanya. Aku hanya bisa membayangkan betapa berat itu, saat melihat dua
penjaga ini berjuang untuk menariknya terpisah.
Akhirnya, dengan suara ‘klak’ keras, pintu menjulang
bergeser terbuka. Lalu, mengungkapkan apa yang aku asumsikan sebagai Grand hall…
dan menatap tepat ke arahku, duduk di atas takhta putih yang
menyala. Itu adalah seorang pria yang tampak berusia tidak lebih dari dua
puluh.
Windsom segera melangkah melewatiku dan masuk ke dalam
ruangan, lalu berlutut.
“My Lord,”
Asura itu berkata, sambil menundukkan kepalanya.
Lord Indrath ini sama sedikitpun dengan apa yang aku bayangkan.
Dia dingin, rambutnya berwarna krem keperakan, dan itu tidak panjang maupun
pendek. Dia akan dianggap sebagai pria yang menarik dengan cara apapun. Tapi, dia
tidak terlalu menakjubkan.
Aku tidak benar-benar tahu apa yang ada di bawah jubah
putihnya. Tapi, dia tidak tampak sangat kuat. Matanya mengingatkanku akan
Sylvia, dan itu membuatku nyaman. Tapi sementara mata Sylvia masih penuh kasih,
miliknya tajam.
Mata Lord Indrath ini berwarna ungu juga. Tapi bahkan dari
sini, aku bisa melihat warnanya berubah-ubah.
Sadar jika aku telah menatap terlalu lama, aku masuk dan
berlutut juga. Sementara kepalaku menunduk, aku tidak bisa mengerti dan
mengintip ke sekitar ruangan.
Berdiri di sisi grand hall ada banyak sosok dari segala usia
dan ukuran yang menatapku. Beberapa menghina seperti penjaga laki-laki
sebelumnya, sementara yang lain dipenuhi dengan rasa ingin tahu yang sederhana.
Setiap tokoh yang berdiri di sekitar Windsom dan aku, juga
memancarkan aura yang akan membuat bahkan seorang mage paling kuat di Dicathen
mengeluarkan buih dari mulutnya. Walau, sekali lagi pria yang duduk di atas
takhta yang berkilauan dengan api putih itu, tidak memancarkan aura seperti
itu.
Bahkan, setelah mencoba untuk secara sadar mengevaluasinya,
aku bahkan tidak bisa merasakan kehadirannya. Walau dengan fakta jika aku bisa
melihatnya. Aku tetap kesulitan percaya, jika dia benar-benar ada, bila mataku
tidak secara langsung terfokus pada dirinya.
“Berdiri.”
kata pria perak itu dengan lembut. Namun, itu tetap tajam
seperti pisau dengan cara yang berbeda.
Bangkit, kami kemudian berjalan menuju tahta, dengan Sylvie
masih dalam pelukanku. Aku bisa merasakan mata semua orang mengikutiku, menilai
setiap gerakanku.
Aku teringat, ketika aku masih seorang anak yatim piatu yang
mengambil bahan makanan untuk rumah kami di pasar terdekat. Ini sama dengan
bagaimana orang dewasa saat itu menatapku.
Mereka menatap dengan rasa jijik terang-terangan. Seolah-olah,
aku adalah semacam penyakit yang mereka harus hindari.
Detik-detik perlahan berlalu, saat aku menunggu laki-laki di
atas takhta untuk berbicara. Namun, dia hanya menatap tanpa kata kepadaku dan
Sylvie, dengan ekspresi yang tidak bisa aku tafsirkan.
Tanpa peringatan, perut dan lengan kiriku mulai terasa
panas. Aku kemudian buru-buru menarik lenganku, dan mengusap bulu halus Silvia
untuk melihat, jika lencana bersinar hangat.
Aku tidak melepas pakaianku, tapi dari cahaya redup di bawah
bajuku. Itu mudah untuk menebak jika tubuhku juga bersinar.
Asura yang duduk di atas takhta, mendesah dan mengangguk
acuh dengan cara enggan.
Mataku tidak meninggalkan Lord Indrath saat ia menatapku. Jadi,
ketika aku merasa Sylvie dalam pelukanku tiba-tiba menghilang dan muncul
kembali dalam pelukannya, reaksi langsungku adalah canggung dan bingung karena
takjub.
“Apa?!” kataku.
Aku refleks mencoba untuk menjangkamu ikatanku, sampai
Windsom meletakkan tangannya di bahuku.
“Apa aku tidak diperbolehkan untuk memegang cucuku sendiri?”
balas Lord Indrath, sambil memegang Sylvie di satu tangannya.
Lalu mengangkatnya hingga wajahnya, Lord Indrath kemudian
menatap ke sekitar, sementara memeriksa setiap sudut tubuh ikatanku yang sedang
tertidur.
“Sepertinya, kamu tidak memiliki kemampuan apapun untuk
melatih dirinya. Tingkat mana nya sangat rendah, dan melihat bagaimana dia
dalam keadaan hibernasi sekarang. Sepertinya, kamu sudah membuatnya stress.”
Mata Lord Indrath menyipit dan menusuk melaluiku, hanya
kebanggaanku yang menjagaku dari mengambil langkah mundur saat ini.
“Aku minta maaf, My Lord. Aku seharusnya melatih Lady Sylvie,
sementara aku berada di Dicathen. Jika sesuai dengan keinginanmu, aku bisa
memulai pelatihannya sekarang juga.”
Secara mengejutkan, Windsom membelaku, membungkuk sekali
lagi di depan pria berambut krem di atas takhta.
“Tidak dibutuhkan. Aku secara pribadi akan … Sylvie,”
Lord Indrath berhenti, lalu menggelengkan kepalanya. Dengan
itu, gelombang terkejut dan obrolan lembut memenuhi grand hall, saat anggota
lain dari Klan Indrath saling berbisik penuh semangat.
Menempatkan dengan lembut jarinya di antara mata Sylvie,
Lord Indrath mengucapkan sesuatu yang tak terdengar. Matanya bersinar, dan
tiba-tiba Sylvie tersentak terbangun.
Matanya berkilauan di bawah naungan yang sama ungu seperti
kakeknya.
“Kyu?”
‘Papa? Di mana ini?’
Suara nostalgia yang tidak bisa aku dengar beberapa hari ini
memenuhi kepalaku. Sylvie jelas bingung dengan adegan asing, dan oleh fakta jika
seorang pria yang belum pernah dilihatnya memeluknya begitu erat.
‘Kita sudah pergi cukup jauh, Sylv. Bagaimana keadaanmu?’
Aku mentransmisikan kembali, senyum terbentuk di wajahku.
‘Mengantuk… Bisakah aku kembali tidur, Papa?’
Aku bisa melihat mata Sylvie saat ini sedang berjuang untuk
tetap terbuka, saat dia berkedip letih sebelum sepenuhnya menutup.
“Lord Indrath. Win… Elder Windsom sudah menjelaskan kepadaku,
apa yang dibutuhkan dariku. Tapi, dia belum memberi-tahuku alasan, mengapa aku
harus dibawa ke sini. Jika itu hanya untuk tujuan pelatihan, bukankah itu tidak
beberapa dengan berlatih di dungeon terpencil di Dicathen?”
Aku bertanya, tidak sabar menunggu dia untuk mengembalikan
ikatanku.
“Aku telah menganggapmu sebagai potongan yang diperlukan,
yang akan membantu kami melawan Agrona dan pasukannya. Aku menggangap, jika kamu
sudah memahami keuntungan dalam memenangkan perang yang akan mendekat, ya?
Karena itu, akan menjadi sangat bermanfaat, untuk memiliki
beberapa spesialis untuk membantu Windsom dalam pelatihanmu, selama kamu
tinggal di sini. Anggap itu sebagai suatu kehormatan, karena hanya yang paling
berbakat dari generasi muda, yang akan mendapatkan pelatihan yang akan kamu
dapatkan.”
“Bagaimana kamu akan tahu kapan perang akan mendekat? Berapa
banyak waktu yang bahkan kita memiliki?”
Ada terlalu banyak ketidak-pastian bagiku, untuk dapat
dengan nyaman berlatih.
“Kamu tidak perlu khawatir akan itu. Fokus saja pada
pelatihanmu, dan aku akan memberi-tahu Windsom jika saat tiba waktunya bagimu,
untuk kembali ke tanah airmu. Itu saja,” jawab Lord Indrath, juga sinyal untuk
Windsom untuk membawaku pergi.
“Tunggu, bagaimana dengan Sylvie?”
“Dia akan tinggal denganku, sampai pelatihannya berakhir,”
katanya blak-blakan.
“Apa? Berapa lama itu? Apa aku tidak akan dapat melihatnya
sampai saat itu?”
Alis Lord Indrath berkedut tak sabar, karena dia bahkan
mengusir kami pergi dengan tangannya. Sebelum aku bisa menjawab, Windsom
meremas lenganku erat, menyeretku keluar dari grand hall.
Setelah melewati dua penjaga, aku dengan marah melepaskan
diri dari genggaman Windsom.
“Apa inti pertemuan itu? Aku pergi ke sana hanya untuk
melihat Sylvie direnggut dan dipandang rendah oleh semua Klan Indrath? Sangat
memalukan!”
Mendesah, Windsom menjawab,
“Hubungan antara kamu dan asura sangat aneh, dan hanya bisa
disimpulkan sebagai… katakanlah… mentoleransi dendam. Kenyataan jika kami tidak
punya pilihan, selain mengandalkan makhluk yang lebih rendah, adalah luka untuk
kebanggaan kami. Jangan khawatir, kamu dan Lady Sylvie tidak akan dianiaya.
Seperti yang Lord Indrath telah disebutkan, kamu penting bagi kami.”
“Aku cukup yakin, jika dia hanya berkata ‘potongan yang
diperlukan’,”
Aku mendengus, dan kemudian melangkah kembali ke jembatan
sebelumnya kami menyeberang.
Bibir Windsom melengkung ke dalam senyum samar.
“Ayo, ada beberapa orang yang aku ingin kamu temui.”
Post a Comment for "BAE_107"
comment guys. haha