SL_245

SL 245
Abu terus berjatuhan seperti salju dari langit.
Jin Woo yang telah mengucapkan selamat tinggal kepada Shadow
Army sebelum perpisahan, memandang para Rulers tanpa ragu-ragu.
“Aku siap.”
‘Fragmen cahaya paling terang’ memanggil gelas indahm dengan
wajah yang sedikit sedih.
Mata Jin Woo lalu bersinar.
‘Artefak Dewa, ‘cawan reinkarnasi’ aadalah alat
yang mampu mengubah waktu kembali ke masa lalu…’
‘Akhirnya.’
‘Aku akhirnya
menyelesaikan semuanya dan berpikir jika aku akan memulainya lagi. Hah, ini cukup
menyebalkan.’
Ketika Pemimpin Rulers melihat wajah Jin Woo penuh
ketegangan, da bertanya.
“Benarkah … Kamu tak akan menyesal?”
Rulers telah menghabiskan bertahun-tahun ketidak-mampuan
untuk melawan para Monarch. Dan dia tahu, beratnya perang ini lebih baik
daripada siapa pun di dunia.
Berat beban yang harus ditanggung oleh Monarch of Shadow sendirian,
akan sangat berat nanti.
Jin Woo lalu mengangguk.
Pertarungan pertamanya sudah berhasil. Dan dia yakin, jika
pertarungan kedua akan jauh lebih baik dari ini. Atau seharusnya begitu.
Jin Woo mengangguk dengan senyum, dan juga aura penuh
kepercayaan diri.
Keinginannya untuk mendapatkan kembali apa yang harus ia
hilangkan dalam pertarungan, telah membuatnya membulatkan tekad.
‘Apa Monarch of Shadow
saat ini adalah orang yang gila?’
“Baiklah… karena
keberanianmu, kamu bisa menyelamatkan duniamu.”
Pemimpin Rulers berdoa dengan hatinya, dan membalik ‘cawan
reinkarnasi’.
Dunia kemudian mulai dikelilingi oleh cahaya yang
menyilaukan.
Tentara yang terluka di medan perang, keluarga yang menatap
pertempuran melalui TV dan berdoa untuk keselamatan orang-orang yang mereka
cintai, mereka yang bosan dengan berita tak bagus, dan mereka yang jatuh dalam
keputus-asaan.
Di rumah, di mobil, di rumah sakit, di sekolah, di
perusahaan.
Semua orang melihat sorotan cahaya yang menyilaukan. Dan
segera, dunia berada dalam lingkupan cahaya.
***
Pagi.
Jin Woo merasakan sinar matahari pagi yang menandakan awal
hari kepada kelopak matanya yang tertutup. Jin Woo menyentuh seprai dari kasur
yang ia gunakan, tanpa membuka matanya.
‘Aku sudah bangun.’
Dia bisa mengetahui semua di sekitarnya, dengan kepekaan
yang melampaui manusia biasa.
“Bau yang keluar dari cucian, bau rebusan mendidih, suara
memotong, dan bau udara di kamarku …”
‘Ini rumah.’
‘Aku pulang.’
Detak jantung Jin Woo mulai meningkat.
Di luar pintu, suara ibunya terdengar.
“Jin Ah, bisakah kamu
membangunkannya?”
Sunh Jin Ah yang suka tidur seperti gadis yang sedang tumbuh,
tapi selalu bangun di pagi hari secara aneh. Dia selalu datang untuk
membangunkan kakaknya yang tidur terlambat, atas permintaan sang ibu.
“Ya!”
Senyum muncuk di
mulut Jin Woo muda, yang menyadari jika kenangan masa kecilnya saat ini sedang
ditarik mundur, untuk menjelaskan banyak hal.
Tok.. tok..
tok..
“Oppa...”
Jin Woo perlahan bangkit sebelum adiknya bisa membuka pintu.
“Oh? Kamu sudah bangun?”
Ketika Jin Woo melihat adiknya, dia tersenyum yang mana itu
membuat adiknya membuka matanya lebar-lebar.
‘Ini Jin Ah yang tak
kehilangan Ibu.’
Jin Woo yang turun dari tempat tidur, melewati adiknya dan
pergi ke ruang tamu.
“Nak, apa kamu sudah bangun?”
Ibu sedang bersiap menyiapkan sarapan dan berbalik
kepadanya. Ibu yang tak berjuang di dalam ‘Eternal Sleep’.
Walau ini pemandangan yang Jin Woo dambakan. Ada satu
pemandangan lagi yang ingin ia lihat lebih dari apa pun. Jin Woo lalu menoleh
ke meja, kepada seseorang yang sedang membolak-balikkan koran yang ia pegang
satu per satu.
Ayahnya yang diam-diam membaca koran menunggu sarapan, melihat
ke atas dan menatap Jin Woo.
Ketika matanya bertemu dengan mata Jin Woo.
“Ayah..”
Kata ‘ayah’ yang mengalir keluar dari mulut Jin Woo tanpa ia
sadari. Sung Ilhwan terkejut, ketika putranya yang biasanya menyebut dirinya “Ayah”
dengan ekspresi anak-anak, tiba-tiba mmenunjukkan ekspresi dewasa.
‘Apa dia mengalami
mimpi yang menakutkan?’
Pikir Sung Ilhwan.
Dia berdiri untuk melihat wajah putranya yang masih kecil, yang
tampaknya berusaha menahan tangisan. Dia mendekati Jin Woo.
“Ada apa, Nak?”
Suara ayahnya terdengar dengan jelas oleh Jin Woo.
Itu adalah momen yang seperti mimpi bagi Jin Woo, yang
mengingat sentuhan terakhir ayahnya, yang menghilang seperti debu dari ujung
jarinya. Beberapa saat yang lalu. Tapi ini bukan mimpi.
Sebaliknya, ini sebuah kenyataan.
Kesedihan menghilang dari mata Jin Woo, di mana air mata
sudah sedikit berkumpul, dan tekad yang kuat diukir sebagai gantinya.
Di depannya, ayah dan ibunya menatapnya dengan cemas.
Jin Woo yang mengubah wajahnya dengan susah payah, lalu
tertawa.
“Aku pasti mengalami mimpi buruk.”
‘Ya.’
‘Mimpi yang sangat
buruk sekali.’
‘Setelah mimpi buruk, adikku,
ibuku yang sehat, dan ayahku yang belum menghilang tetap di sini.’
‘Ini adalah kesempatan
terakhir untuk memperbaiki semuanya.’
‘Dan aku tidak akan
melewatkan kesempatan ini.’
‘Sekarang aku akan
menulis ulang masa depan yang akan datang, dengan tanganku sendiri.’
Dengan tekad yang kuat, mata Jin Woo berkilauan.
***
‘Aku pikir, itulah
yang aku katakan.’
Sudah seminggu sejak itu. Dan Jin Woo masih belum bisa mendapatkan
kesempatan untuk memasuki celah dimensi.
Suara ‘Ber’ terdengar oleh Jin Woo yang menatap keluar
jendela kelas, dengan dagu dia atas tangannya.
“Tuanku…”
‘Aku tahu.’
‘Aku tahu fakta jika
para Monarch yang mengincar Bumi, masih mempersiapkan Gate besar.’
Tapi…
Ini adalah waktu yang sama dengan liburan singkat, yang
diberikan kepada dirinya sendiri, yang menyelesaikan perkelahian besar beberapa
waktu lalu.
‘Sedikit, tak masalah
bagiku untuk menikmati waktu yang damai ini sedikit saja, bukan?’
‘Hitung saja ini
sebagai hadiah untuk diriku sendiri.’
“…..”
Jin Woo menghabiskan waktu dengan masalah seperti itu, dan dia
lalu mendengar suara yang bagus.
Ding dong ding dong
Itu adalah lonceng yang memberitahunya, ketika waktu sekolah
telah berakhir.
Sebelum suara itu, wajah anak-anak yang terlihat sekarat, tiba-tiba
mulai mencerah. Termasuk dengan Jin Woo.
Dia menjadi anak muda empat belas tahun.
Bahkan, walau bagian dalamnya berusia dua puluh empat, atau
dua puluh lima sekarang?
Sekolah berakhir dengan suasana yang menyenangkan. Lalu, banyak
anak laki-laki dengan rambut hitam dengan cepat berbondong-bondong mendekat ke
sekitar Jin Woo.
“Jin Woo!”
“Kamu pergi ke Ruang Ikan hari ini?”
Jin Woo mengangguk sambil tersenyum, ketika dia melihat
wajah anak-anak yang menyapanya.
“Oh ya!”
“Hei, apa Jin Woo menjadi tim kita hari ini?”
“Oh, apa yang kamu bicarakan? Kamu berada di tim-nya kemarin.”
“Tapi itu kan…”
“Oh, tidak. Kita harus melakukannya seperti kesepakan, dan
Jin Woo akan ada di pihak kami.”
“Sepertinya kita harus melakukan sulit.”
“Baiklah!”
Ada ledakan game simulasi strategi di ruang kelas SMP
periode ini. Dan refleks serta indera Jin Woo yang luar biasa, menjadi incaran
teman-temannya.
Untuk anak laki-laki, keterampilan permainan adalah sesuatu
yang sangat populer. Dan untuk itu, banyak anak laki-laki bersemangat agar bisa
masuk ke tim yang sama dengan Jin Woo.
Sementara suit yang sangat menentukan terus berlanjut.
Gadis-gadis yang tak tertarik dengan permainan keluar dari
kelas, sambil menatap anak laki-laki yang antusias, tentang kontes Jin Woo
dengan mata mereka.
Di pintu belakang kelas.
Ada seorang anak yang sedang merapikan tasnya dan melihat
sedikit ke arah Jin Woo. Ya, itu adalah anak-anak yang tertarik dengan
permainan itu, tapi tak pandai berteman.
Anak-anak seperti itu hanya dapat melihat teman sekelas
mereka yang bersatu, dengan rasa iri.
Jin Woo tertawa pelan karena itu.
Hal-hal yang ia lewatkan ketika masih kecil, mulai muncul di
matanya satu per satu.
‘Apa ini karena aku
sudah dewasa?’
‘Atau apakah itu
karena kepekaanku yang berada di luar standar manusia?’
Bahkan di ruang kelas yang sempit ini, banyak emosi yang Jin
Woo rasakan.
‘Ini sama seperti
Dunia dalam Dunia.’
Sementara itu.
“Wow!”
Anak-anak yang bertekad satu tim dengan Jin Woo dengan tak
tahu malu bersorak.
Jin Woo mendecakkan lidahnya.
‘Lihat para gadis itu
menatapku dengan menyedihkan …’
Para pemenang menatap Jin Woo dengan senyum cerah dan mereka
lalu berkata.
“Jin Woo, ayo pergi!”
Tapi Jin Woo menunjuk ke belakang bukannya menjawab.
“Aku akan bekerja
sama dengannya hari ini.”
“Oh?”
Ketika mereka mendengar itu, semua anak laki-laki menatap ke
arah yang JIn Woo tunjuk, dan mereka melihat seorang anak yang diam-diam
merapikan tasnya dalam diam.
Dan anak itu terkejut, terkejut oleh perhatian semua orang
yang mengarah kepadanya.
“Uh … aku?”
Jin Woo menjawab.
“Ya kamu.”
Jin Woo yang melihat
jejak bermasalah di wajah anak itu, tertawa dan bertanya lagi.
“Kenapa tidak?”
“Oh. Tidak.”
Jin Woo juga mengangkat tasnya sambil melihat wajah senyum
malu-malu anak itu.
“Ayo pergi.”
Anak itu mengangguk, lalu dengan cepat merapikan tasnya.
“Oh ya!”
Jin Woo tertawa.
‘Hanya sedikit.’
‘Sedikit lagi.’
‘Aku ingin menikmati
suasana ini satu hari lagi.’
‘Karena ini
menyenangkan…’
Langkah kaki Jin Woo yang keluar bersama teman-temannya, ringan
tapi juga berat. Matahari yang bersinar di belakang sekolah sudah membuat
langit terang.
Teman-teman Jin Woo lalu memanggilnya, yang berhenti
berjalan sebentar dan memandangi langit.
“Jin Woo, apa yang kamu lakukan?”
“Apa kamu ingin melepaskan semua kursi di ruang ikan?”
‘Kawan, kamu tak
terburu-buru …’
“Aku datang.”
Jin Woo menyusul anak-anak yang berada di depannya.
Anak-anak itu lalu berbicara tentang keindahan pemandangan
yang akan dibuat di ruang piknik hari ini, dengan suara penuh antisipasi.
Bahkan jika dia tak terlibat dalam percakapan, Jin Woo bisa
merasakan kegembiraan dan kebahagiaan anak-anak itu.
Dan seperti itu.
Jin Woo terus berjalan dengan teman-temannya yang ia temui
lagi setelah waktu yang sangat lama, dan terus berjalanan di bawah langit yang
berwarna kemerahan.
Jin Woo berjalan sambil tersenyum.
Setelah merasakan celah dimensi, Jin Woo punya kebiasaan
yang aneh. Dan itu adalah untuk merekam hal-hal yang ia lihat, dan dengar pada
setiap hari dengan menulisnya di buku catatan.
Walau itu tak berpengaruh, hingga Jin Woo bisa melupakan
para Monarch.
Kebiasaan ini tetap Jin Woo lakukan.
Celah dimensi adalah ruang ketiadaan yang sempurna, mirip
dengan ruang kosong. Dunia yang tak dapat ditembus ini, dengan hanya memiliki
kegelapan yang tak ada habisnya di dalamnya. Itu begitu menyebalkan, hingga tak
mungkin baginya untuk bertahan di sana. Kecuali ada pertempuran yang terjadi.
Tapi bukan berarti tak ada yang bisa Jin Woo dilakukan.
Dengan pengalaman hidupnya, Jin Woo menyadari jika sudut
pandang melihat hal yang sama dapat berubah secara bervariasi dari waktu ke
waktu.
Seiring waktu, dia menyadari jika dia bisa melihat hal-hal
yang belum pernah dilihatnya sebelumnya.
Dan seperti itu…
Jin Woo menjadi penasaran dengan apa yang akan ia rasakan,
saat melihat catatan yang telah ia buat nanti di masa depan. Di saat ingatannya
sudah mulai memudar.
‘Apa aku merasa malu
karena meninggalkan catatan, atau merasa menyesal?’
‘Atau akankah aku
merindukan perang berdarah ini?’
Ini adalah alasan utama, kenapa Jin Woo membuat buku harian.
Dalam benda yang berbentuk kotak persegi. Dalam kegelapan yang tak terbatas, hanya
suara ujung pena yang menggaruk notebook, yang diam-diam bisa didengar.
Jin Woo yang menulis catatan hari ini, tiba-tiba tertawa.
‘Tapi, aku tak akan
melewatkan semua ini.’
Jin Woo kemudian mendongak.
Dan di sana, dia bisa melihat monster yang sangat banyak,
hingga seseorang tak akan bisa menghitungnya dalam satu kali pandang.
Lagi.
Jin Woo memenangkan pertempuran dengan para Monarch.
Dua puluh tujuh tahun, sejak dia sampai pada celah dalam
dimensi.
‘Akhirnya, pertarungan
yang panjang, membosankan, dan sulit ini mulai berakhir.’
Satu-satunya musuh yang tersisa adalah Monarch dan
prajuritnya, ‘Legion of Destroyer.’
‘Aku senang bisa
kembali.’
“Aku senang waktu di luar dan di sini berbeda.”
Post a Comment for "SL_245"
comment guys. haha