BAE_008
BAE_008
Bab 8
Pandangan kabur dari latar yang akrab, membuatnya berkedip
beberapa kali, untuk menegaskan kembali jika apa yang ia lihat bukanlah mimpi.
Dari kelihatannya, dia sepertinya kembali ke tubuh lamanya.
Bangun dari sofa tempat dia duduk, dia meninggalkan kamarnya
di kastil. Seorang pelayan muda yang telah menungguku di luar, langsung
menyambutku dengan hormat.
“S-selamat pagi Raja Gray.”
Dia bahkan tak repot-repot melirik ke arahnya, dia berjalan
ketika mengikuti raja beberapa meter jauhnya.
Mencapai halaman di mana semua peserta pelatihan berbaris
dengan pedang yang dipegang di depan mereka. Dia mengalihkan perhatian kepada
instruktur yang meneriaki mereka, tentang sikap dan pernapasan yang benar.
Ketika salah satu dari mereka melihat dirinya, dia segera berbalik dan memberi
hormat militer yang tegas. Mengikuti, instruktur dan peserta pelatihan lainnya.
Dia hanya memberi isyarat agar mereka melanjutkan. Mencapai
tujuannya, dia mendorong untuk membuka pintu ganda. Tiba di depan seorang pria
tua dengan kepala rambut putih tebal, yang cocok dengan janggutnya yang panjang.
Dan mata zamrud yang bersinar dengan rasa kebijaksanaan dan pengetahuan licik.
Dia adalah kepala Dewan, Marlorn.
Sementara Grey memegang posisi “Raja”, dia tak bisa untuk
tidak menganggap dirinya sebagai seorang prajurit yang dimuliakan. Yang
sebenarnya memerintah negara, mengelola politik dan ekonomi, adalah Dewan.
Jadi, apa yang terjadi dengan posisinya sebagai Raja?
Gelar Raja berarti, jika dia sebenarnya lebih merupakan
pasukan satu orang. Karena berkurangnya jumlah anak yang lahir dan jumlah
sumber daya yang terbatas, Dewan dari masing-masing negara berkumpul. Dan setelah
berbulan-bulan berdiskusi dan berdebat, mereka sampai pada kesimpulan…
Jika perang terus ada, mereka pada akhirnya akan memusnahkan
diri mereka sendiri.
Menyingkirkan perang akan mengarah pada dua hasil utama.
Penurunan jumlah kematian, mengarah pada pertumbuhan
populasi. Dan berkurangnya lahan dan sumber daya yang dapat dipanen, dari hasil
senjata nuklir.
Solusi yang mereka buat dan terapkan adalah, mengganti
perang dengan bentuk pertempuran yang berbeda.
Apa yang menggantikan perang dikenal sebagai Paragon Duels.
Setiap kali ada perselisihan pada tingkat yang berdampak pada negara, Paragon Duel
akan diumumkan, dengan masing-masing negara mengirimkan perwakilan yang mereka
anggap paling kuat.
Melihat ke atas, Marlorn berseru dengan senyum palsu yang
indah, yang tampaknya merupakan sifat bawaan sejak dia lahir di kalangan
politisi,
“Raja Grey! Apa yang membawamu ke tempat tinggalku yang
sederhana?”
“Aku pensiun.”
Tanpa memberinya kesempatan untuk bereaksi, Grey membuka
lencananya. Sepotong logam yang sangat dicari oleh setiap praktisi terlepas,
dan membantingnya di meja kayu ek raksasa. Dia kemudian berjalan keluar pintu.
‘Apa yang telah aku jalani selama ini?’
Dia adalah seorang yatim piatu yang dibesarkan di sebuah
kamp, yang dirancang untuk membesarkan duel. Dia berumur dua puluh delapan,
namun dia tak pernah berkencan, dan tak pernah mencintai. Dia telah
menghabiskan seluruh hidupnya sampai sekarang, semata-mata demi menjadi yang
terkuat.
Dan untuk apa itu...
Kekaguman? Uang? Kejayaan?
Dia memiliki semua itu, tapi tak pernah dalam sejuta tahun ,dia
memilih untuk memilikinya daripada apa yang ia miliki di kota Ashber.
Dia merindukan Alice. Dia merindukan Reynold. Dia merindukan
Durden. Dia merindukan Jasmine. Dia merindukan Helen. Dia merindukan Angela. Dia
bahkan merindukan Adam.
‘…Ibu…’
‘…Ayah…’
“UHUK UHUK!”
Dia membuka mata lagi, dengan pohon-pohon yang menjulang
tinggi, dan tanaman menjuntai yang memenuhi penglihatan, saat dia berbaring
telentang. Namun kali ini, rasa sakit yang luar biasa yang ia sambut, serasa mengatakan
kepadanya, jika dia tak bermimpi.
‘Di mana aku?’
‘Bagaimana aku hidup?’
Dia mencoba untuk bangun, tapi tubuhnya tak mendengarkan.
Satu-satunya hal yang bisa ia bisa adalah memutar kepala kecilnya. Bahkan, itu
melibatkan serangkaian rasa sakit di lehernya.
Melihat ke sebelah kanan, dia melihat ranselnya. Perlahan-lahan
dia menoleh ke kiri, menggertakkan gigi menahan rasa sakit.
Matanya melebar saat melihat itu. Dan dia segera harus
menahan keinginan untuk muntah. Di sebelah kiri ada yang tersisa dari Mage yang
terseret ke bawah bersamanya.
Sebuah genangan darah mengelilingi mayat itu. Tubuhnya
mungkin memiliki lebih banyak tulang yang patah, daripada yang masih utuh. Dia bisa
melihat tulang-tulang putih rusuknya menonjol keluar dari rongga dada yang
cekung, dengan tumpukan isi perut di sampingnya.
Anggota tubuhnya tergeletak di sudut yang tak wajar, dengan
tengkorak Mage itu hancur di bagian belakang, dengan beberapa materi otak
mengalir bersama darah.
Wajahnya membeku untuk menjadi ekspresi terkejut dan tak
percaya. Kecuali, matanya yang benar-benar merah. Karena, jejak darah kering
masih terlihat dari rongga matanya.
Art tak bisa memalingkan kepala dengan cukup cepat. Dengan
tubuh yang sudah lemah, diserang dengan penglihatan yang mengerikan dan bau
yang menjijikkan. Dia memuntahkan apa yang tersisa di perutnya, sampai dia mengangga.
Bahkan di kehidupan masa lalu, dia belum pernah menemukan
mayat yang rusak parah. Dengan bau yang memuakkan dan serangga yang berpesta
gore, dia merasa mual. Dengan bagian-bagian wajah dan leher yang tertutupi
topeng kainnya sendiri.
Dia akhirnya berhasil menoleh, untuk menghilangkan pandangan
tentang sisa-sisa aneh Mage itu.
‘Bagaimana aku masih hidup?’
Mau tak mau, dia bertanya-tanya apa yang terjadi, ketika dia
tak sadarkan diri.
‘Jelas, Mage itu hidup sampai pendaratan… jadi apa yang
terjadi padaku?’
Seharusnya, dia terlihat sangat mirip dengan mayat ini
sekarang, mungkin bahkan lebih buruk. Tapi tak hanya dia baik-baik saja, dia bahkan
tak memiliki tulang yang patah.
Dia merenungkan jawaban yang mungkin, sampai dia terganggu
oleh omelan kuat dari perutnya.
Sekali lagi, dia mencoba bangkit, berjuang melalui protes
tubuh terlukanya. Satu-satunya bagian tubuhnya yang tampaknya mendengarkan seperti
sekarang adalah, lengan kanan dan lehernya.
Dia menghendaki mana ke lengan kanan, dan menggunakan
jari-jarinya untuk mencakar jalan. Menyeret tubuhnya, untuk mencapai ransel.
Jaraknya tak lebih dari satu meter, tapi butuh waktu lebih
dari satu jam, sampai akhirnya dia berhasil mencapainya. Menariknya lebih
dekat, dia mengaduk-aduknya dengan satu-satunya tangan, sampai dia menemukan
apa yang ia cari.
‘Buah dan kacang kering yang sudah dikemas oleh ibu!’
Dia berhasil menuangkan seteguk camilan yang ia bawa, hanya
karena desakan ibu. Tenggorokan yang terkejut oleh makanan yang datang
tiba-tiba, merespons dengan tersedak dan batuk. Membawanya ke putaran
penderitaan di tubuh kecilnya.
Meraba-raba mencari karung air di dalam ransel,
perlahan-lahan dia menuangkan sedikit air ke mulut, sebelum memasukkan
segenggam camilan ke mulutnya lagi. Air mata mengalir di sisi wajah dan telinganya.
Dia terus mengunyah ransum kering, sampai tertidur lagi. Menggunakan ranselnya sebagai
selimut darurat.
Matanya terbuka lebar, ketika dia bangkit dari gigitan
dingin. Melihat sekeliling, posisi sinar memuncak melalui pegunungan, itu
fajar.
Kali ini, dia bisa bangun. Tapi, hanya dengan bantuan mana.
Dengan hati-hati, dia memeriksa seluruh tubuh, memastikan semuanya ada di
tempatnya, sebelum membiarkan dirinya rileks.
Hal pertama dari yang pertama. Dia berjalan menuju mayat Mage,
sambil berusaha menghindari untuk melihat luka keji, yang menyebabkan
kematiannya. Melihat pisau yang ia cari, dia cepat-cepat mengeluarkannya dari
paha mayat itu.
Dia tak yakin berapa lama, dia harus berada di sini,
sehingga memiliki senjata itu penting.
(Oh, kamu sudah bangun.)
Dia langsung masuk ke posisi bertarung, menggerus rasa sakit
akibat gerakan tiba-tiba. Dan dengan pisau di tangan, berbalik menghadap
bangkai.
Dia bersumpah pada Tuhan, jika mayat ini yang berbicara…
Tawa melodi, membuatnya mencari-cari sumber suaranya.
(Jangan khawatir. kamu tak perlu khawatir, tentang mayat
yang hidup kembali.)
Suara yang tampaknya keluar entah dari mana, memiliki
kualitas yang bermartabat, namun lembut yang memancarkan rasa royaltas. Itu
kuat dan beresonansi, namun itu juga suara halus dan menenangkan, yang
membuatmu ingin mempercayainya.
Masih berjaga-jaga, dia berhasil menggumamkan respons yang
kurang elegan.
“Siapa kamu? Apakah kamu yang menyelamatkanku?”
(Ya, untuk pertanyaan keduamu. Adapun untuk pertanyaan
pertama, kamu akan segera mengetahuinya, saat kamu tiba di tempat tinggalku.)
Suara ini tampaknya sangat yakin, jika dia akan mencoba dan
menemukannya.
Seolah membaca pikirannya, dia melanjutkan,
(Aku satu-satunya yang akan bisa membawamu pulang dari
tempat ini. Jadi, Aku menyarankanmu untuk bergegas.)
‘Itu masuk akal…’
‘Benar sekali! Aku harus kembali ke rumah! Ibu! Ayah! Twin
Horn! Adik bayi-ku! Apakah mereka baik-baik saja? Apakah mereka mencapai Xyrus
dengan aman?’
Jika suara itu benar-benar dapat membawanya pulang, dia tak
punya pilihan selain menemukannya.
“Ahem, uhh… Tuan… Suara. Bolehkah Aku menanyakan arah ke
lokasimu, sehingga kamu dapat memberkatiku dengan kehadiranmu?”
Suara itu mengeluarkan tawa lembut lain sebelum menjawab,
(Tidakkah menurutmu sedikit kasar, untuk memanggil seorang
wanita ‘Tuan’? Dan ya, Aku akan menunjukkan jalannya kepadamu.)
‘Ahh… jadi itu seorang wanita.’
Segera, pandangan Art beralih ke pandangan mata burung.
Zooming out, lokasi yang kira-kira sekitar satu hari perjalanan ke timur, mulai
terlihat dan menyala, sebelum penglihatannya kembali normal.
(Aku sarankan, kamu segera berangkat. Akan jauh lebih aman
bepergian di siang hari daripada di hari gelap.)
“Ya Bu!”
Dia dengan cepat mengambil ranselnya, sebelum berlari menuju
tujuan.
Itu menjadi kurang menyakitkan, dengan setiap langkah itu. Dan
pada pertengahan pagi, dia hanya tersisa, dengan beberapa rasa sakit di
sana-sini. Apa pun yang dilakukan wanita itu, adalah sihir yang kuat.
Dia belum pernah mendengar atau membaca, tentang merapalkan
mantra dengan jarak sejauh itu. Atau mungkin dia pergi setelah membaca mantera
tepat sebelum dia mendarat?
Lalu, bagaimana dia bisa tahu, jika dia jatuh, dan mengapa
dia hanya menyelamatkan dirinya? Semakin dia mencoba memecahkan misteri itu,
semakin banyak pertanyaan yang sepertinya akan ia selesaikan.
Mendengar suara gemericik samar, dia menuju ke arah, melihat
aliran sempit.
“Ya!”
Dia berseru.
Dia benar-benar kotor. Wajah dan lehernya masih berbau asam
lambung, sementara pakaiannya sobek dan kotor. Hampir berlari, dia melompat ke
sungai, menggosok wajah dan tubuhnya dengan penuh semangat.
Melepaskan pakaian dan setelah mencucinya sebentar, dia meletakkannya
di atas batu terdekat untuk mengeringkan itu. Setelah selesai mandi
menyegarkan, dia berjalan menuju pakaian yang masih basah ketika…
(Kukuku… betapa menyenangkannya tanpa beban.)
Secara refleks, kedua tangannya terangkat ke bawah, untuk
menutupi daerah yang berharga miliknya. Ketika dia membungkuk, berusaha membuat
tubuhnya sekecil mungkin.
(Jangan khawatir, tak banyak yang bisa dilihat.)
Dia menggigil, ketika dia hampir merasakan suara itu
mengedip padanya.
‘Kasar sekali! Kebanggaanku…’
Menggerutu, dia hampir ingin berdebat, jika tubuhku tak
berkembang. Tapi, dia memilih untuk mengabaikan Suara dan mengenakan pakaiannya.
(Aww… jangan cemberut. Aku minta maaf,)
Suara itu menahan tawa.
‘Tenangkan pikiranmu, Arthur. Seorang raja harus
tenang...’
Setelah dia mengenakan pakaian, suara mesum itu sepertinya
menjadi sunyi. Tak terlalu peduli, dia mencari-cari di tasnya, dan menggali
ransum kering yang terakhir. Air tak akan menjadi masalah untuk sementara waktu,
karena dia baru saja mengisi ulang kantong air-nya. Tapi, dia akan membutuhkan
makanan segera.
‘Semoga, suara itu memberi dia sesuatu.’
Melihat sekeliling, dia mulai bertanya-tanya di mana dirinya
berada. Karena dia jatuh dari gunung ke arah timur, dia pasti berada di dekat
wilayah para elf. Dia dak berpikir, dia di Hutan Elshire. Karena, dia tak
dikelilingi oleh kabut.
‘Apakah Aku di Beast Glades? Tidak. Tidak ada monster
mana…’
Dia melihat beberapa kelinci dan burung, tapi dia belum
melihat yang lain. Sesuatu yang lebih aneh yang ia perhatikan sebelumnya,
adalah kelimpahan mana di tempat ini. Itu sebagian besar karena kekayaan mana itu,
yang membuatnya dapat pulih dari keadaan awalnya, begitu cepat. Meskipun itu
masih belum menjelaskan bagaimana dia bisa bertahan, dia berharap sumber di
balik suara itu memberitahunya.
‘Aku harus bergegas.’
Terlepas dari kenyataan, jika tak ada jalan, itu ternyata
menjadi perjalanan yang cukup damai, dengan hambatan dan medan minimal yang
harus ia jalani. Saat dia mendekati lokasi suara, kepadatan mana semakin kaya
dan lebih tebal. Mengabaikan godaan untuk berhenti dan menyerap mana di
sekitarnya, dia memberanikan diri.
‘Pelatihan tak penting saat ini. Aku harus pulang.’
Karena semua orang mungkin berasumsi, jika dia sudah mati, dia
tak bisa tidak khawatir tentang Ibu dan Ayah. Bukan secara fisik, tapi untuk
kesehatan mental mereka. Dia khawatir, Ibu dan Ayah tak akan memaafkan diri
mereka sendiri, atas kematiannya.
Satu-satunya pemikiran yang menghiburnya adalah, kenyataan jika
ibunya hamil.
‘Ya, Setidaknya demi kakak ini atau adikku yang belum
lahir, mereka akan tetap kuat.’
Dia mencapai area, di mana Suara mengarahkannya ke arah tertentu.
Tapi, dia tak dapat melihat apa pun, selain sekelompok batu yang dikelilingi
oleh sekelompok pohon.
(Dia senang, kamu bisa sampai di sini dengan selamat,)
Suara itu menggema dengan percaya diri. Seolah-olah, sudah
tahu dia akan melakukannya.
“Senang bertemu denganmu, uhh… Bu? Nona… Batu?”
(Dia bukan batu, atau sekelompok dari mereka. Ada celah
antara bagian belakang batu yang berdekatan. Di situlah dia akan berada,)
Suara itu terkekeh.
Melihat sekeliling, dia berhasil menemukan celah kecil,
sekitar lebar orang dewasa, di antara dua batu besar yang saling bersandar.
Angin sepoi-sepoi yang keluar dari celah, memberi tahunya, jika dia telah
menemukan apa yang ia cari. Jika bukan karena Suara mengarahkannya ke lokasi
yang tepat ini, dia tak akan pernah memperhatikan celah kecil itu.
(Anak kecil. Pergi dan masuklah melalui celah. Tapi, perkuat
dirimu dengan mana, sebelum kamu melakukannya.)
‘Aku akhirnya bisa bertemu Ibu dan Ayah segera!’
Tanpa ragu sedetik pun, dia menyelinap masuk melalui celah
dengan mudah, sambil menginginkan mana untuk memperkuat tubuh.
Dia mengharapkan platform untuk diinjak. Tapi sebaliknya, dia
langsung jatuh ke lubang gelap.
Suara itu gagal memperingatkannya, jika dia akan jatuh
secara vertikal.
‘Aku rasa itu sebabnya, dia menyebutkan menggunakan mana
untukku.’
Itu adalah pemikiran yang mengalir di kepalanya saat dia turun.
Berteriak di bagian atas paru-parunya, yang baru berusia empat tahun.
Menggosok (sensor)nya, (sensor). Dia perlahan-lahan bangkit.
“Kita akhirnya bertemu anak.”
Dia merasakan darah mengalir dari wajahnya, ketika mulutnya terbuka
dan matanya membesar. Merasa pusing ketika kakinya gagal mendukung, dia jatuh
kembali ke (sensor)-nya yang sakit. Dia menatap Suara yang telah membantunya selama
ini.