Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

***Dukung kami: Traktir ngopi! (min Rp 1.000,-)***
Laporan Donasi

BAE_168

gambar

The Beginning After The End


BAE_168

Chapter 168: Pemandangan dari Langit

 

 #PoV: Olfred Warend

 

Tidak mengejutkan untukku ketika Elder Rahdeas datang mengunjungiku, mengatakan jika dia telah membawa pulang seorang bayi manusia. Aku sudah akrab dengan kebaikannya. Lagipula, aku sendiri pernah menjadi penerima kebaikannya itu.

Dia mengambilku dari jalanan yang kejam di gua, memberiku makanan dan tempat tinggal di rumahnya sendiri.

Memperlakukanku, seolah-olah aku darah dagingnya. Dia mengajariku untuk membaca dan menulis. Dan setelah menemukan kecenderungan alamiku terhadap sihir, ia bahkan mengajariku dasar-dasar manipulasi mana.

Meskipun begitu, aku tetap sangat berhati-hati. Tumbuh tanpa rumah atau keluarga, hanya mengajariku untuk selalu curiga terhadap semua orang.

Selalu ada pemikiran jika mungkin orang ini hanya memeliharaku untuk menjualku suatu hari nanti. Namun, itu tidak terjadi.

Tahun-tahun berlalu dengan kebahagiaan, hingga kecurigaanku menguap pergi. Aku bahkan menganggap diri sebagai anaknya. Setelah lulus sebagai salah satu dari mage di Fana Institute, yang terletak di ibu kota Vildoral.

Aku dipilih untuk untuk menjadi penjaga keluarga kerajaan.

Greysunders serakah dan memandang rendah bahkan seluruh ras mereka, juga selalu merasakan ketidak-puasan bila dibandingkan dengan manusia dan elf. Tapi, aku tetap menjaga raja dan ratu itu dengan setia dan rasa hormat tertinggi.

Itulah yang Rahdeas ajari padaku.

Setelah puluhan tahun pelayanan yang didedikasikan untuk keluarga kerajaan, aku mendengar pembicaraan tentang pemilihan dua Lance berikutnya. Dan segera terungkap, jika aku telah terpilih sebagai salah satu kandidatnya.

Pada awalnya, aku berencana untuk keluar dan bekerja biasa. Jika aku ingin hidup tanpa terikat dengan seseorang, walau tetap ada satu, yaitu Rahdeas.

Rahdeas selalu menghormati keputusanku. Sampai hari di mana ia membawa pulang anak yang ia beri nama Elijah.

Tanpa memberiku rincian tentang bagaimana ia menemukan bayi manusia, Rahdeas mendesakku untuk menjadi Lance dan untuk mewakili rakyat Dwarf sebagai Jenderal, untuk memiliki ikatan dengan keluarga kerajaan dan melayani mereka dengan setia.

Aku berpendapat, mengatakan jika aku tidak ingin rantai hidupku tidak dapat ditarik dari Greysunders. Tapi, Rahdeas meyakinkanku dengan sangat percaya diri, jika itu hanya akan bersifat sementara.

Dia menyatakan, jika aku akan terikat kepadanya pada akhirnya.

Aku lalu belajar selama waktuku sebagai penjaga untuk keluarga kerajaan, jika Greysunders telah berkuasa sejak penciptaan Darv. Namun, Rahdeas entah bagaimana dapat menjamin kejatuhan mereka.

Dia adalah orang yang aku hormati sebagai seorang ayah dan penyelamat. Bahkan, jika aku tidak menaati raja, aku tidak akan pernah untuk tidak mematuhi Rahdeas.

Satu dekade lagi berlalu. Anak laki-laki manusia tumbuh di bawah asuhan Rahdeas. Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah, Lance tanpa gelar kebangsawanan muncul di depan umum.

Rahdeas baik, tapi dia adalah seorang pria yang meskipun cinta pada sekitarnya, pikirannya lebih terfokus pada dirinya sendiri.

Dia tidak pernah mengatakan kepadaku, apa yang ia maksud, ketika dia mengatakan ikatanku dengan Greysunders itu tidak permanen. Atau, mengapa ia terus menjaga hubungan kami tetap rahasia dari anak itu.

Dia tidak pernah menjelaskan siapa sebenarnya anak itu. Tapi dia mengatakan, jika anak itu seharusnya bisa menjadi penyelamat para Dwarf.

“Kamu terlihat diam, Olfred,” kata Rahdeas dari sisi lain ruangan melingkar besar, menarikku keluar dari ingatan masa lalu dan kembali ke masa kini.

“Ada apa?”

“Tidak ada, Tuanku.”

Aku memaksa menarik pandanganku dari jendela, dan menghadapi orang yang telah membesarkanku.

“Olfred, aku sudah bilang untuk memanggilku Rahdeas, ketika kita sendirian,”

Dia memarahi lembut.

“Sekarang, duduk dan minum dengan orang tua ini.”

“Aku juga sudah tua.”

Aku mengambil tempat duduk di hadapannya, menerima cangkir yang ia serahkan padaku.

“Pemandangan bulannya hebat, bukan?” katanya, meneguk dari cangkirnya, yang tampak kecil di tangannya yang besar.

“Ya,”

Aku setuju.

“Betapa bodohnya kesalah-pahaman dari manusia dan elf. Mereka berpikir jika hanya karena kita hidup di bawah tanah, kita lebih suka gua daripada bangunan.

Dengan angin besar yang tak tertahankan terus-menerus menerpa Darv, mereka tidak pernah berhenti untuk berpikir, jika kita tidak membangun menara tinggi dan bangunan, karena kita tidak bisa?”

Aku mengangguk, memandang ke luar jendela, saat aku berkata.

“Ketidak-tahuan, mengarah ke asumsi dan interpretasi yang salah.”

“Sangat benar. Tapi kali ini, perubahan akan terjadi pada kita.”

Rahdeas iseng menelusuri bekas luka yang berjalan di mata kirinya.

“Waktunya telah tiba, anakku.”

Mencapai di atas meja, Rahdeas lembut meraih pergelangan tanganku, lalu menggenggam tanganku.

“Apakah ada keraguan yang mengaburkan pikiranmu?”

“Tidak… Ayah.”

Sebuah kata yang terasa asing bagiku. Aku tidak pernah mengatakannya keras-keras, meskipun selalu memikirkan dia seperti itu. Tapi aku tahu, aku akan menyesal jika aku tidak mengatakan itu sebelum waktuku berakhir.

Sudut mata Rahdeas berkerut dalam senyum lembut, sambil memegang tanganku tegas.

“Bagus. Satu-satunya penyesalan adalah, jika kamu tidak akan berada di sini, untuk melihat kemenangan rakyat kita. Kalau saja, kamu telah terikat padaku, bukannya asura itu.”

Aku menggeleng.

“Ada beberapa hal yang kita tidak bisa ubah. Tapi, ada satu hal yang aku ingin kamu tahu.”

“Apa itu?”

“Aku tahu ambisimu untuk orang-orang kita. Tapi, itu bukan alasanku melakukan ini. Orang-orang kita adalah orang-orang yang mencemooh dan memukuliku, saat aku berada di jalanan.

Aku hanya ingin kamu tahu, jika alasanku bisa melakukan semua ini, tanpa ragu-ragu… adalah karena itu adalah apa yang kamu inginkan.”

Menutup matanya, Rahdeas mengangguk pelan.

“Anak baik. Baik sekali.”

***

 

#PoV: Arthur Leywin

 

Aku duduk di tepi tempat tidur, melepas pin yang menahan rambutku. Ikatanku mengeluarkan nafas lembut, sebelum kembali tidur, meninggalkanku dalam kedamaian malam.

Suara Tess bergema di kepalaku, kata-katanya bertentangan dengan prioritasku.

“Untuk mengatakan, jika aku terus mencintaimu,”

Aku mengulang lembut untuk diriku sendiri. Hanya ada beberapa hal yang aku benar-benar inginkan dalam hidup ini.

Bukan ketenaran, kekuasaan, atau kekayaan.

Aku punya itu dan bahkan lebih selama hidupku sebelumnya. Apa yang aku inginkan, alasan aku berjuang dalam perang ini…

Itu adalah sesuatu yang aku tidak mampu lakukan sebagai Gray.

Tumbuh tua dengan orang yang aku cintai.

Untuk itu, aku bersedia untuk pergi melawan musuh, asura ataupun bukan.

Tapi, aku kesulitan dengan godaan untuk membuang segalanya tentang perang ini. Ada saat-saat, aku ingin hanya melarikan diri ke tepi Beast Glades, dengan Tess dan keluargaku.

Keegoisan membuatku mempertanyakan setiap langkah yang aku ambil.

Ini bukan perangmu, Arthur.

Kakimu hampir pincang dan kamu memiliki bekas luka di seluruh tubuhmu. Bukankah kamu sudah cukup bekerja?

Kamu berjuang untuk orang-orangmu lagi. Kamu sudah melakukan itu dalam hidup terakhirmu, dan lihat apa yang kamu dapatkan.

Aku menyadari, mengapa aku terus-menerus mendorong Tess pergi, memberi alasan atau jawaban yang tak jelas.

Aku hanya takut.

Aku takut, jika aku membiarkan dia, keegoisanku akan menjadi tidak terkendali. Yang mana, itu akan membuang Dicathen dari pikiranku, dan hanya mempedulikan beberapa orang yang aku benar-benar cintai.

Waktu menetes dengan cepat, saat aku tersesat dalam pikiranku. Dan sebelum aku sadar, matahari terbit, yang masih sedikit tersembunyi oleh awan di bawah. Itu telah mewarnai langit dengan oranye bersemangat.

Melepaskan pakaian mewah yang aku kenakan ke acara tadi malam, aku berganti dengan kemeja dan rompi yang nyaman. Aku menyelipkan ujung celanaku ke sepatuku, sebelum mengalungkan jubah tebal di atas bahuku.

“Sudah waktunya untuk pergi, Sylv.”

Mata kuning cerah Sylvie bergetar terbuka. Melompat dari tempat tidur, dia berdiri di sampingku. Dia menatapku, saat aku dengan hati-hati menempelkan pasta khusus untuk menyembunyikan bekas luka besar di leherku.

‘Aku siap.’

Sebelum menuju lantai bawah, aku mampir ke kamar adikku dan mengetuk pintu.

“Ellie, ini kakakmu.”

Pintu bergeser terbuka, mengungkapkan adikku yang sedang menguap. Rambutnya keriting di satu sisi dan lurus di sisi lainnya. Di belakangnya, berbaring di atas perutnya di samping tempat tidur, itu adalah Boo. Dia mengintip pada kami dengan satu mata, sebelum kembali tidur.

“Kakak? Apa ya…”

Dia berhenti di tengah kalimat, menatap pakaianku.

“Kamu sudah mau pergi lagi?”

Aku memaksakan senyum, yang tidak cukup mencapai mataku.

“Aku akan segera kembali.”

Aku menarik adikku ke dalam pelukanku.

“Kamu tidak harus segera kembali, hanya berjuanglah untuk tetap hidup.”

Dia mendekapku erat sebelum menarik diri, kemudian berlutut dan memeluk Sylvie. Adikku tersenyum lebar, tapi air mata sudah mulai mengalir di sudut-sudut matanya.

Aku semakin mengacak-acak rambut coklatnya.

“Aku berjanji.”

Aku kemudian berjalan menuruni tangga dengan Sylvie, dan kami disambut oleh Mika yang riang gembira dan Olfred yang berwajah masam, di depan koridor menuju ruang teleportasi.

Dwarf tua dan kecil yang hanya setinggi bahuku, tapi memiliki postur tegak lurus itu. Mereka segera berpaling dariku dan menuju ke lorong.

“Kita akan bepergian dengan terbang daripada melalui gerbang,” katanya tanpa berbalik.

Di sisi lain, Jenderal Mica berjalan santai ke sisiku. Dengan senyum kecil, di wajah krim-nya, seseorang mungkin berpikir jika dia sedang dalam perjalanan piknik.

“Mica ini bersemangat, untuk akhirnya pergi melakukan misi bersamamu,” katanya, saat kita membuntuti di belakang Jenderal Olfred.

“Lances lain berbicara tentangmu, meskipun tidak semuanya adalah hal yang baik.”

“Apakah kamu selalu merujuk kepada diri sendiri, sebagai orang ketiga?”

Aku bertanya.

“Di sebagian besar waktu. Mengapa? Apakah itu membuatmu tertarik pada Mika?”

Dia mengedipkan mata.

“Mica mungkin terlihat seperti ini. tapi, Mica sedikit terlalu tua untukmu.”

“Sayang,” kataku, tak mampu menjaga sarkasme tidak bocor ke suaraku.

“Ayo cepat,”

Jenderal Olfred menyalak, saat tentara yang berjaga di depan ruang pendaratan, mengayunkan pintu terbuka.

“Saat kita mengabiskan waktu untuk perjalanan ini, pertempuran sudah berlangsung di tempat lain.”

Penemu dan pekerja di dalam menjatuhkan apa yang mereka lakukan, dan memberi hormat pada kedatangan kami.

Satu orang, bagaimanapun, berjalan ke arah kami dengan senyum polos.

“Elder Rahdeas,”

Jenderal Olfred menyapanya, membungkuk dalam-dalam. Sementara, Mica dan aku hanya sedikit menundukkan kepala kamo.

“Lance.”

Senyum Rahdeas diperdalam, bekas luka berjalan melengkung melalui mata kirinya.

“Maafkan gangguanku. Aku hanya ingin mengirim kalian semua secara pribadi.”

“Ini suatu kehormatan,” jawab Jenderal Olfred.

Rahdeas berjalan kearahku, menatapku diam-diam. Ketika ia tersenyum padaku, aku tidak bisa mengerti dan ingin orang ini bukan seorang pengkhianat. Aku ingin salah mencurigainya.

Aku masih menyesali fakta, jika aku tidak mampu melindungi Elijah. Pikiran itu menyebalkan. Tapi jika kecurigaanku terbukti benar, membunuh orang yang telah mengangkat temanku sebagai anaknya sendiri, pasti akan meninggalkan rasa pahit di mulutku.

Rahdeas menempatkan tangan besar lembutnya di lenganku.

“Kamu pasti lelah dari pertempuran sebelumnya. Demi asura, mari kita berharap kecurigaanmu berubah menjadi palsu, sehingga kamu dapat cepat kembali dan beristirahat dengan tepat.”

Sementara ekspresi dan gesture-nya tampak asli, kata-kata Rahdeas ini tampak hati-hati dipilih. Meskipun begitu, aku menjawab dengan tersenyum.

“Ya, mari kita berharap begitu.”

‘Mungkin aku terlalu curiga padanya,’ pikirku.

Lagipula, dia adalah penyelamat Elijah.

‘Walau itu mungkin terjadi, kamu tetap tidak boleh melepaskan kecurigaanmu sekarang,’ Sylvie menyarankan.

Rahdeas melepaskan lenganku, kemudian memberikan satu anggukan lebih bermakna untuk Lances, sebelum melangkah keluar dari jalan kami.

Olfred memimpin jalan ke sisi lain dari ruangan besar.

“Kita siap untuk berangkat. Jangan terbang di bawah awan.”

“Apa ikatanmu cukup cepat, untuk bersaing dengan Mica dan Olfred?” tanya mika.

Sylvie menjadi sombong, ia mendengus menghina, memilih waktu itu untuk berubah menjadi naga berukuran penuh.

Lantai benteng gemetar dan pekerja di sekitar kita secara naluriah mundur, meski telah melihat ikatanku sebelumnya.

“Aku akan mengatasinya,” katanya, saat ekornya yang panjang menyapuku dari kakiku, dan menempatkanku di lehernya.

Dinding di depan kami, diturunkan oleh mekanisme jembatan, bersandar keluar dari benteng untuk membuat hanggar besar.

Aku hampir terlempar oleh angin, yang langsung menerpa tubuh besar Sylvie. Atap dan beberapa teras dilindungi oleh penghalang transparan mana. Tapi, kami dipukul dengan kekuatan penuh angin di ketinggian yang lebih dari dua puluh ribu kaki.

Suara kami hilang dalam angin, dan Jenderal Olfred hanya menunjuk ke arah kami. Kemudian, dia dan Mica jatuh ke dalam awan.

‘Aku tidak akan pernah bosan pada pandangan ini,’ pikirku, saat melihat keluar di mana matahari pagi menjadi lebih menonjol, melepaskan cahaya halus di atas awan.

‘Setuju.’

Sylvie menarik napas dalam-dalam, sebelum menyebarkan sayapnya. Dia membiarkan angin membawa tubuhnya dari tanah. Dan kami mengikuti dekat di belakang yang lainnya, tidak tahu hasil apa yang mungkin terjadi dalam perjalanan ini.




< Prev  I  Index  I  Next >

Post a Comment for "BAE_168"